Kisah Pasangan Lansia, Jual Becak untuk Beli Beras
Tidak mampu membeli beras, pasangan orangtua lanjut usia (lansia) miskin di Parepare nekat menjual harta mereka satu-satunya, becak yang selama ini menjadi alat mencari nafkah.
M HARIS SYAH
Parepare
Jumat siang terik. Hampir sejam penulis mengelilingi lingkungan di Jalan Mangga, Kelurahan Labukkang, Parepare. Kabar adanya pasangan lansia yang hidup menderita didaerah itu begitu cepat menyebar. Penulis akhirnya mendapati kontrakannya didalam lorong padat penduduk.
Kontrakan 4x6 meter itu berlantai semen, atap dan dindingnya dari seng. Membuat panas terasa dua kali lipat. Ruangan sempit itu disekat dengan sebuah lemari tua. Dapur dibelakang, meski tidak banyak yang bisa dimasak disana. Sementara didepan digunakan sebagai kamar tidur, ruang tamu sekaligus tempat bekerja.
"Masuk-ki nak, tidak ada kursi itu. Melantai ji orang disini," ujar seorang perempuan tua, Rapiah (65) yang menyambut kami. Dia mencoba tersenyum, namun getir, butir bening disudut matanya berkata lain. Dia duduk disamping dipan, suaminya Abdullah (73) terbaring disana memegangi dada.
Empat tahun terakhir, Abdullah menderita komplikasi penyakit. Diagnosa terakhir dokter menyebut pria kelahiran 1943 itu kekurangan hemoglobin pada darahnya, membuat dadanya sering sesak. Dia tidak mampu lagi menarik becak, profesi yang selama ini menghidupi keluarganya. Untuk bertahan hidup Rapiah bekerja serabutan, saat ada pesta dia diupah Rp100ribu per dua hari untuk mencuci piring. Dia juga memintal hiasan pengantin dengan upah Rp80ribu perlembar. Selembarnya berukuran lima meter, harus dia pintal selama sebulan.
Penghasilan cekak seperti itu tentu sulit untuk hidup di kota. Uang tabungan sedikit demi sedikit habis menutupi biaya hidup sehari-hari. Raskin yang dia harapkan bisa meringankan beban, tidak juga diberikan. "Katanya tidak terdata, padahal kami ini sejak 1971 tinggal di Parepare, ya memang harus pindah-pindah kontrakan karena tidak punya rumah sendiri," kata Rapiah.
Akhirnya, bulan Ramadan lalu Rapiah terpaksa berkali-kali berhutang beras pada tetangga. Total hutangnya kini Rp280 ribu, tetap tidak mampu dia bayar. Berharap kepada seorang anaknya, kondisi mereka tidak lebih baik dibanding kedua orangtuanya itu. "Suami saya minta becaknya dijual saja Rp400 ribu. Ini sementara ada yang tawar. Hasilnya nanti sebagian buat bayar utang, sebagian beli beras. Katanya dia tidak mau mati membawa utang," katanya.
* Tidak tepat sasaran
Ketua Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Parepare Syahruddin yang mendampingi lansia itu mengkritik keras distribusi raskin Parepare. Menurutnya, meski gratis namun distribusinya kacau dan tidak tepat sasaran. "Percuma gratis kalau ada yang tidak tersentuh. Saya heran bagaimana pejabat itu bisa tidur nyenyak sementara warganya kelaparan begini," kritiknya saat datang menengok kondisi Abdullah.
Lurah Labukkang Muh Yusuf juga datang menengok pasangan lansia itu, tepat saat penulis masih disana. Dia berkilah, distribusi raskin yang tidak dinikmati oleh warga itu bukan kesalahan pihaknya. Menurut Yusuf, tahun 2011 lalu petugas BPS mendata ulang penerima raskin di Labukkang. Akibatnya, dari 400 nama penerima turun menjadi 209 nama saja. "Bukan kita yang menentukan penerima. Mungkin pak Abdullah ini salah satunya yang namanya terhapus," jelasnya.
Yusuf justru menyesalkan tidak adanya koordinasi yang baik antara BPS dengan pihak kelurahan. Namun dia berjanji akan mengupayakan bantuan bagi pasangan lansia itu. "Kalau ada warga yang pindah domisili, kita akan pindahkan jatah raskinnya ke bapak ini. Juga kalau ada bantuan modal usaha kita upayakan usulkan nama mereka," tandasnya.
Pertanyaan berkecamuk dibatin penulis. Begitu rumit urusan mengisi perut sampai harus saling lempar tanggung jawab. Abdullah dan istrinya-pun tidak berharap banyak, hanya beras paling murah bernama raskin. Nyatanya, dia tidak lebih beruntung dibanding 209 orang miskin lainnya di Kelurahan itu. (ris)
Komentar
Posting Komentar