Gubuk Nenek Ros
Saya menulis tentang nenek 76 tahun ini dengan hati perih. Nenek Ros sedang makan saat saya mengucap salam masuk ke gubuknya. Kulirik mangkuk itu, hanya berisi dua jenis makanan. Nasi dan sayur bening. Itu saja.
Garasi orang kebanyakan jauh lebih layak disebut rumah dibanding gubuk ini. Berdiri di atas selokan. Bilah papan dan kayu bekas, dipaku karatan dan diatapi dengan seng macam-macam bentuk.
Ruang pengap 2x3 meter itu jadi kamar tidur, sekaligus dapurnya. Tak perlu kuingatkan gubuk itu tanpa ruang tamu, karena nenek Ros tidak mengharapkan siapa-siapa datang membawa apa-apa.
Papan ala kadarnya menutupi lubang yang dia sebut pintu, tanpa kunci. Nenek Ros tidak khawatir, karena memang dia tidak butuh kunci. Pencuri paling goblok-pun tahu tidak ada apapun di dalam sana yang bisa dicuri.
Di gubuknya juga tidak ada listrik, buat apa?, toh dia tidak punya smartphone untuk di-charge, atau sekedar TV pengusur sepi.
Satu-satunya yang membuat dia resah, mungkin deru mobil yang melaju sangat dekat dengan bantalnya. Membuat tidurnya sering tak nyenyak,
oh ya, si nenek kerap sakit perut dan muntah tengah malam. Mungkin karena air yang dia masak tidak begitu matang. Maklum, dia cuma punya kompor minyak. Sementara semakin sulit menemukan minyak tanah, apalagi uang untuk membelinya.
Untunglah, masih ada orang baik yang kerap menawarkannya beras dan air gelas. Saat dia sambut pemberian itu, matanya nanar berkaca.
Sepertinya benar kata seorang bijak. 'Islam tidak hanya di mesjid dan mimbar, Islam ada diantara kaum yang tertindas, Islam juga ada di perut tetanggamu yang lapar'.
Parepare, 30 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar