Postingan

UMS Rappang dan Solusi Indonesia

Gambar
Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya.  Ini adalah kalimat dari almarhum Buya Syafi'i Ma'arif, tokoh bangsa yang selalu kukagumi. Kata kunci dari kalimat beliau; Solusi atas masalah-masalah Indonesia. Sungguh mantra yang powerfull. Ini amanat yang cukup berat. Namun masalah-masalah Indonesia tidak selalu soal utak-atik konstitusi, visa haji, atau istri bakar suami. Di UMS Rappang, pesan Buya dipegang teguh dan diwujudkan sebenar-benarnya. Selalu ada solusi atas masalah-masalah perkuliahan yang kami hadapi.  Birokrasinya dinamis dan luwes. Juga tentu biayanya yang relatif ringan dan fleksibel. Prinsipnya kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?. Sangat membantu kami yang bermodal semangat, kuliah sambil kerja. Ini mungkin bantuan kecil untuk orang yang bukan siapa-siapa. Tetapi bantuan-bantuan kecil inilah yang akan berlipat ganda, karena dilakukan oleh banyak warga Muhammadiyah. Pada

Menimbang Konsekuensi PTM Terbatas

  Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas mulai dilaksanakan di Sulsel. Ini menyusul status pandemi di 20 kabupaten/kota berada pada PPKM level 3. Selain itu, rerata pendidik dan tenaga kependidikan telah divaksinasi. Merujuk pada verval data kesiapan belajar tatap muka yang dilakukan Kemendikbud, ada 3 indikator utama kesiapan sekolah untuk menggelar PTM terbatas. Pertama, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan. Kedua, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan ketiga, pemetaaan warga sekolah yang tidak boleh mengikuti PTM. Persiapan lebih teknis di sekolah meliputi setidaknya 11 indikator. Diantaranya seluruh pendidik dan tenaga kependidikan wajib memiliki sertifikat vaksinasi, kesediaan orangtua siswa, hingga membentuk tim koordinasi dengan Satgas dan Puskesmas setempat. Indikator-indikator ini relatif mudah dipenuhi, sehingga sebagian besar sekolah dianggap memenuhi syarat melaksanakan PTM Terbatas  PTM Terbatas disebut mendesak dilakukan. Kerugian dari learning loss akibat kendala

Dasar-dasar Jurnalistik (bagian 1)

Gambar
ilustrasi jurnalistik (gambar : kumparan) Artikel ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mengenal dasar-dasar jurnalistik, sebagai pengantar mata kuliah ilmu jurnalistik, atau untuk sekadar memahami dunia jurnalistik.  A. Sejarah Jurnalistik Konon pada zaman Romawi kuno saat era kekuasaan Julius Caesar (100-44 SM), pemerintah menggunakan sejenis papan pengumuman. Papan ini disebut Acta Diurna.  Secara harfiyah, Acta Diurna diartikan sebagai Catatan Harian atau Catatan Publik Harian. Papan ini diletakkan di forum Romanum agar diketahui khalayak. Acta Diurna awalnya berisi catatan proses dan keputusan hukum, lalu berkembang menjadi pengumuman kelahiran, perkawinan, hingga keputusan kerajaan atau senator dan acara pengadilan. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama sekaligus pers, media massa, atau suratkabar/koran pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”. Kata atau istilah jurnalistik pun berasal dari Acta Diurna itu. Orang yan

Ma'jujung

Gambar
Apa bahasa Indonesia-nya 'ma'jujung'? Saya kesulitan menemukan istilah untuk aktivitas membawa barang di atas kepala. Kawan saya, guru Bahasa Indonesia yang mabessa bu Norazizah juga menyerah mencari kata yang tepat. Ma'jujung itulah aktivitas Dg Ngai sehari-hari. Saya menjumpainya di jalan poros Rappang-Parepare, dekat penjual cendol. Baskom, ember, mangkok, hingga sisir jualannya ia atur bersusun-susun. Lalu diangkat diatas kepalanya yang dilapisi kain melilit. Tangannya menjinjing keranjang berisi macam-macam spakula. Saat kubantu menurunkan jualannya itu, saya taksir beratnya tak kurang dari 20 kg. Tentu sangat berat untuk ukuran nenek kelahiran 1955. Itu ia bawa seharian, sambil jalan kaki berkilo-kilo. "Itai sapparengna dui'e bangsata nak," Lihat (betapa susahnya) mencari uang bagi orang seperti kita," kata ibu penjual cendol yang setiap hari melihat Dg Ngai lewat. Dg Ngai bercerita, suaminya yang dulu jadi tulang punggung, kini sakit stroke,

Sistem Pendidikan Islam di Mata Dr Pahri Lubis

Gambar
ilustrasi (gambar: mojok) Saya termasuk manusia yang senang dengan orang yang berpikiran terbuka dan tidak terpengaruh sindrom mayoritanisme. Berdiskusi atau sekadar menyimak pemikiran mereka yang 'nyeleneh' adalah suatu kesenangan tersendiri buat saya.  Maka waktu ngampus online mata kuliah yang dibawakan Dr Pahri Lubis, saya tertarik. 3 SKS saya ikuti sampai selesai, sebuah prestasi bagi pemalas seperti saya. Oh ya, Dr Pahri mengampuh Teori Belajar Mengajar di Pascasarjana UNIAT. Pemaparan beliau tentang sistem pendidikan Islam sangat menarik. Selain menjelaskan teori-teori dalam PBM, beliau juga sesekali mengkomparasi dengan sistem pendidikan di luar negeri. Salah satunya di Republik Islam Iran. Ia menyebut Iran satu-satunya negara yang diakui pemikir barat sebagai negara Islam. Di Iran, kata beliau, tidak ada dikotomi antara kurikulum pendidikan Islam dan bukan Islam. Makanya, tidak mengenal yang namanya yayasan pendidikan Islam. Atau SDIT sebagaimana yang menjamur di Indon

Pak Imam dan Fiqih Lima Mazhab

Gambar
Ilustrasi Sore tadi di perjalanan naik motor dari Enrekang ke rumah mertua, kami kehujanan. Jilbabnya mama Hasan-Husain sudah basah kuyup menutupi Husain, saat kami putuskan mampir berteduh.  Si bapak empunya rumah mempersilahkan kami duduk di teras. Ia baru akan ke mesjid jelang berbuka, saat hujan turun. Tapi hujan tambah deras. Husain dan mamanya kedinginan. Mungkin beliau kasihan, jadi mengajak kami masuk ke rumahnya. Husain disajikan kue coklat.  Kami pun ngobrol sambil menunggu hujan reda. Ia tidak memperkenalkan diri. Tapi saya sempat melirik nama Imam Jafar di dinding luar rumahnya. Lemari di ruang tamunya berisi macam-macam buku. Ada belasan kitab kuning. Yang menarik perhatian saya, di ujung rak terselip buku Fiqih Lima Mahzab. Buku karya Muhammad Jawad Mughniyah ini memaparkan pandangan-pandangan fiqih dari mahzab Ja'fari, Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Buku ini menarik, pertama, sebab imam mahzab yang dikenal umum di Indonesia hanya empat. Fiqih dari Imam Ja&

Jalangkote Cita-cita

Gambar
Saya pernah membaca esai. Judulnya 'Cita-cita Setinggi Jalangkote'. Tentang sekelompok anak-anak miskin penjual jalangkote, yang tidak punya cita-cita. Mereka sudah merasakan banyak kekecewaan-kekecewaan, hingga sekadar bercita-cita pun, mereka tidak berani, menjadi begitu absurd dan hilang dari mimpi-mimpi mereka. Pada kesempatan lain baru-baru ini, saya membaca status seorang kawan. Tulisnya, 'semua orang ingin berkuasa'. Sapu rata ala 'politician wannabe', yang memandang isi kepala semua orang adalah sama. Dua hal itu nampaknya tidak berlaku pada Heril. Anak muda penjual jalangkote ini punya pemikiran sederhana. Bagaimana agar jalangkote buatan ibunya laku sebanyak-banyaknya. Agar ada yang bisa ia sisihkan, untuk membayar sendiri uang sekolahnya.  "Bapak cuma supir pete-pete, adikku 3 orang masih kecil-kecil," katanya, sambil menggulung lembaran rupiah hasil jualannya hari itu. Walau begitu, Heril masih punya nyali bercita-cita. Berkuasa, punya kuas