Sistem Pendidikan Islam di Mata Dr Pahri Lubis

ilustrasi (gambar: mojok)


Saya termasuk manusia yang senang dengan orang yang berpikiran terbuka dan tidak terpengaruh sindrom mayoritanisme. Berdiskusi atau sekadar menyimak pemikiran mereka yang 'nyeleneh' adalah suatu kesenangan tersendiri buat saya. 

Maka waktu ngampus online mata kuliah yang dibawakan Dr Pahri Lubis, saya tertarik. 3 SKS saya ikuti sampai selesai, sebuah prestasi bagi pemalas seperti saya. Oh ya, Dr Pahri mengampuh Teori Belajar Mengajar di Pascasarjana UNIAT.

Pemaparan beliau tentang sistem pendidikan Islam sangat menarik. Selain menjelaskan teori-teori dalam PBM, beliau juga sesekali mengkomparasi dengan sistem pendidikan di luar negeri. Salah satunya di Republik Islam Iran. Ia menyebut Iran satu-satunya negara yang diakui pemikir barat sebagai negara Islam.

Di Iran, kata beliau, tidak ada dikotomi antara kurikulum pendidikan Islam dan bukan Islam. Makanya, tidak mengenal yang namanya yayasan pendidikan Islam. Atau SDIT sebagaimana yang menjamur di Indonesia. 

"Iran menganut kesatuan ilmu. Semuanya bersumber dan bermuara pada Allah SWT. Semuanya Islam," kira-kira begitu yang saya tangkap. Terkait ini, mohon perkenaan ustaz Ismail Amin memberi penjelasan.

Beliau juga menyebut nama Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i. Hafal Alquran sejak usia 5 tahun. Lalu menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang “Science of the Retention of The Holy Quran” dari Hijaz Collage Islamic University Inggris di usia 7 tahun. 

Ia disebut sebagai potret kesuksesan model pendidikan Islam yang diterapkan orangtua di Iran. Sejak dalam kandungan, orangtuanya memang telah mengakrabkan Husein dengan Alquran.

Lebih lanjut, dr Pahri banyak menyoroti pendidikan Islam yang jangan hanya menitikberatkan pada sukses akhirat. Tetapi juga beriringan dengan sukses dunia. Ia menekankan Islam Washatiyah. Konsep Islam yang gencar didakwahkan guna membendung paham radikal.

Beberapa mahasiswa nampaknya tidak setuju. Salah satunya menyoroti pak dosen yang terkesan mengagumi konsep pendidikan Iran. Tuduhan yang tidak nyambung dengan isi mata kuliah pun dilontarkan. Ia lupa bahwa ini adalah ruang akademis.

Mengajukan pemikiran-pemikiran 'berbeda dari mayoritas' di tengah gempuran intoleransi dan takfirisme di Indonesia memang beresiko. Kafir, sesat, liberal, adalah cap yang makin sering kita dengar belakangan ini. Tapi disaat bersamaan, orang-orang seperti pak dosen akan selalu hadir mencerahkan kita.  Otw dapat nilai A. :D 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)