Ma'jujung
Apa bahasa Indonesia-nya 'ma'jujung'? Saya kesulitan menemukan istilah untuk aktivitas membawa barang di atas kepala. Kawan saya, guru Bahasa Indonesia yang mabessa bu Norazizah juga menyerah mencari kata yang tepat.
Ma'jujung itulah aktivitas Dg Ngai sehari-hari. Saya menjumpainya di jalan poros Rappang-Parepare, dekat penjual cendol.
Baskom, ember, mangkok, hingga sisir jualannya ia atur bersusun-susun. Lalu diangkat diatas kepalanya yang dilapisi kain melilit. Tangannya menjinjing keranjang berisi macam-macam spakula.
Saat kubantu menurunkan jualannya itu, saya taksir beratnya tak kurang dari 20 kg. Tentu sangat berat untuk ukuran nenek kelahiran 1955. Itu ia bawa seharian, sambil jalan kaki berkilo-kilo.
"Itai sapparengna dui'e bangsata nak," Lihat (betapa susahnya) mencari uang bagi orang seperti kita," kata ibu penjual cendol yang setiap hari melihat Dg Ngai lewat.
Dg Ngai bercerita, suaminya yang dulu jadi tulang punggung, kini sakit stroke, sementara mereka juga mesti bayar kontrakan Rp400 ribu sebulan. Ia mengaku ngontrak di Kampung Wale, jalan poros Tanrutedong, Sidrap.
Hari ini rute Dg Ngai jalan kaki mulai dari Wele, menuju Rappang, belok ke Lawawoi lalu pulang lagi ke Wele. Kalau dihitung pakai Maps, itu sekira 25 km.
Penghasilan Dg Ngai tidak menentu. Tadi lebih setengah hari jalan kaki, ia baru dapat Rp60 ribu. Kalau dipotong modal, untungnya sisa Rp15 ribu. Jika ada rejeki lebih, ia bisa pulang naik angkot. Usia yang tidak bisa membohongi kedua kakinya.
Dg Ngai pernah dapat bantuan raskin. Tapi sekarang namanya lenyap. Ia juga tak tersentuh BLT Covid. Konon karena ia dianggap warga pendatang. Padahal sudah 17 tahun tinggal di Sidrap. Bahasa Bugisnya fasih. Ibu penjual cendol meminta Dg Ngai bersabar dengan kondisinya.
Saya menyimak mereka saling menyemangati. Sambil berdoa semoga keduanya dilimpahkan rezeki halal penuh berkah. Syukur-syukur jika ada yang berkenan membantu.
Jalan Poros Rappang-Lawawoi, 24 Juni 2021
Komentar
Posting Komentar