Menimbang Konsekuensi PTM Terbatas

 

Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas mulai dilaksanakan di Sulsel. Ini menyusul status pandemi di 20 kabupaten/kota berada pada PPKM level 3. Selain itu, rerata pendidik dan tenaga kependidikan telah divaksinasi.


Merujuk pada verval data kesiapan belajar tatap muka yang dilakukan Kemendikbud, ada 3 indikator utama kesiapan sekolah untuk menggelar PTM terbatas. Pertama, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan. Kedua, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan ketiga, pemetaaan warga sekolah yang tidak boleh mengikuti PTM.


Persiapan lebih teknis di sekolah meliputi setidaknya 11 indikator. Diantaranya seluruh pendidik dan tenaga kependidikan wajib memiliki sertifikat vaksinasi, kesediaan orangtua siswa, hingga membentuk tim koordinasi dengan Satgas dan Puskesmas setempat. Indikator-indikator ini relatif mudah dipenuhi, sehingga sebagian besar sekolah dianggap memenuhi syarat melaksanakan PTM Terbatas 


PTM Terbatas disebut mendesak dilakukan. Kerugian dari learning loss akibat kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang tidak kunjung tuntas solusinya selama hampir 2 tahun belakangan, dinilai terlalu besar dibanding resiko yang mesti dihadapi jika PTM dilakukan. Selain kemampuan intelektual dan kecakapan hidup anak menurun, Kemendikbud menyebut kerugian materil secara internasional akibat learning loss mencapai 10 Triliun dolar.


Upaya pemerintah mendorong PTM Terbatas ini patut kita dukung, namun tentu ada konsekuensi yang mesti dihadapi. Utamanya, aspek keselamatan anak, orangtua, guru dan tenaga kependidikan. Kita mesti belajar pada pengalaman PTM Agustus 2020 lalu. Saat itu 6 klaster baru muncul ditengah PTM di zona hijau dan kuning.


Ini memang cukup beresiko. Apalagi belum semua siswa divaksinasi. Tengok yang terjadi di Louisiana AS, dimana tingkat vaksinasi siswa baru 41 persen. 6000 siswa terkonfirmasi positif setelah PTM dilaksanakan. Di Massisipi, muncul 69 klaster sekolah dengan 1000 siswa dan 300 guru positif. 


Kabar baiknya -setidaknya hingga hari ini-, tidak ada klaster baru dari 610 sekolah di DKI Jakarta yang telah lebih dahulu melaksanakan PTM Terbatas sejak akhir Agustus lalu. Selain PPKM di ibukota memang sudah turun ke level 3, angka vaksinasinya memang sudah melebihi target, bahkan diatas 100 persen.


Meski begitu, jangan sampai lengah dalam pelaksanaan PTM. Jika terdapat pelanggaran prokes, PTM mesti segera dievaluasi. Dan bila muncul klaster baru, pelaksanaan PTM harus segera dihentikan.


* Beban Kerja Pendidik


Selain faktor  kesehatan dan keselamatan siswa, konsekuensi lain dari PTM terbatas adalah beban kerja guru yang berpotensi bertambah signifikan. 


PTM mewajibkan sistem dua kali shift, agar sekolah dan kelas tidak terlalu padat serta mengurangi interaksi antarsiswa. Ini membuat durasi mengajar lebih lama. Guru mesti mengajar dua kali dengan materi yang sama. Bahkan bisa mengajar tiga kali, jika ada orangtua siswa yang tidak mengizinkan anaknya ikut PTM. Guru terpaksa harus sekaligus mengajar online. Sebab bagaimanapun siswa yang tidak ikut PTM juga wajib mendapatkan pembelajaran. 


Beban terasa semakin berat karena harus memastikan tidak ada disparitas kualitas pembelajaran bagi siswa yang belajar di sekolah dan di rumah. Apalagi jika hasil belajar dituntut tinggi, dengan segala instrumen evaluasinya. Bisa-bisa, pekerjaan guru baru benar-benar tuntas pada pukul 17.00.


Oh ya, durasi kerja yang panjang ini sebenarnya sudah dialami sebagian besar guru selama PJJ. Ada siswa yang tidak bisa belajar pagi dengan ragam alasan. Ada pula guru -selain mengajar online- juga harus mengunjungi rumah siswa yang tidak mampu belajar online. Ada yang baru kumpul tugas pada malam hari, yang guru harus periksa sebelum pelajaran besok dilanjutkan lagi. Sehingga tudingan sebagian orang bahwa guru makan gaji buta selama PJJ mesti dipikirkan ulang.


Kembali ke beban kerja tadi. Pertanyaannya apakah pemerintah berkenan memberi kompensasi bagi guru atas penambahan beban kerja ini?


Selanjutnya menyiasati beban kerja ini, ada beberapa trik yang patut dicoba. Diantaranya penerapan blended learning. Pada PTM terbatas di Semarang, ada SD yang memasang 2 kamera di setiap kelas. Satu menghadap ke guru, satunya lagi menghadap ke siswa. Sehingga siswa yang tidak bisa ikut PTM, bisa tetap belajar dan bahkan berinteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Namun ini tentu tidak murah dan tidak berlaku bagi sekolah dengan kendala jaringan, atau siswa dengan kendala gadget.


Di Temanggung, PTM terbatas hanya dilaksanakan dua kali seminggu untuk jenjang SD, dan tiga kali seminggu untuk jenjang SMP. Selebihnya, pembelajaran tetap online. Paling tidak kebijakan ini merelaksasi guru dari beban belajar mengajar yang padat.


PR guru yang lain -utamanya guru SD- adalah mengawasi anak-anak. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebut, anak jenjang SD cenderung masih sulit diarahkan untuk melaksanakan protokol kesehatan. Ini menambah beban guru secara psikologis, apalagi jika dibayang-bayangi keberatan orangtua apabila terjadi sesuatu pada anaknya.


Pekerjaan selanjutnya adalah mengindentifikasi kembali psikologi belajar siswa pasca 'libur panjang'. Guru mesti membangkitkan kembali motivasi belajar mereka. Ragam respon dan pengalaman BDR yang berbeda-beda antara masing-masing siswa membuat guru harus membawa anak-anak dalam 'frekuensi' yang sama dalam menyikapi PTM. Belum lagi siswa kelas 1 yang mesti memulai dengan masa pengenalan sekolah, atau siswa pindahan yang harus beradaptasi. Semuanya membutuhkan kerja-kerja ekstra dari guru.


 * Solusi Jangka Panjang


Pemerintah sebaiknya lebih serius mendukung inovasi pembelajaran yang lebih aman, berbasis masyarakat, keluarga dan komunitas atau inovasi pendidikan lainnya daripada memaksakan PTM terbatas.


Di Enrekang, seorang anggota DPR-RI memprakarsai dan mendanai Sekolah Alam. Anak-anak belajar di ruang terbuka dengan dibimbing tutor dari tokoh pemuda dan tokoh masyarakat. Meski pada kenyataan penerapannya, prokes kerap dilanggar karena kerumunan dan tidak mengenakan masker.


Kita juga sudah lama memiliki model SMP, SMA terbuka, hingga Universitas Terbuka. Ada pendidikan sistem komunitas dengan guru kunjung atau tutor. Meski banyak perdebatan mengenai kualitasnya, namun pemerintah patut memikirkan cara mengembangkannya selama pandemi. 


Model belajar homeschooling kini semakin banyak dilirik. Alumni keguruan yang mencapai 350 ribu setiap tahun, mengapa tak dimanfaatkan untuk mengajar anak-anak di rumah? Sisa formulasi pemerintah menjadikannya sebagai pendidikan formal.


Intinya, praktik pendidikan yang tidak lagi mengandalkan sekolah sudah harus diseriusi. Kata dosen manejemen saya, 10 tahun kedepan akan banyak model pendidikan tanpa gedung sekolah atau ruang kelas. Sama seperti saat ini banyak perusahaan yang tak perlu memiliki kantor.


Itu semua juga sebagai solusi jangka panjang. Agar sistem pendidikan nasional kita siap menghadapi situasi darurat di masa yang akan datang. (*)


M. Haris Syah (Pendidik, Mahasiswa Manajemen Pendidikan UNIAT)


-------------


Terbit di Parepos, edisi Senin 6 September 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)