Kembar Dirikan Sekolah Islam Gratis


Arif dan Sahar tak sekedar identik secara fisik, mereka berdua juga kompak dalam keinginan membantu sesama

M HARIS SYAH
UIN Alauddin

Kampus UIN Alauddin, Minggu pagi tidak begitu ramai. Hanya segelintir mahasiswa dibeberapa sudut. Penulis duduk di sebuah kursi memanjang di depan ruang kuliah. Penulis sebelumnya telah membuat janji dengan Saharuddin, mahasiswa pascasarjana jurusan Ekonomi Islam. Ia akrab disapa Sahar.

Tak lama, mendekat dua orang lakilaki berboncengan dengan motor bebek berwarna biru. Keduanya mirip betul, baik wajah pun juga posturnya. Mungkin karena melihat kebingungan penulis, mereka perkenalkan diri. "Saya Sahar, ini saudaraku Arif," ujarnya. Bagi mereka, ekspresi bingung seperti yang penulis alami telah jamak. Betapa tidak, orang yang tidak mengenal baik mereka pasti sulit membedakan.

Sahar dan Arif berkenan berbagi cerita dengan penulis, tentang kisah kembarnya mereka. Mereka dilahirkan dari pasangan Aminah dengan Safar. Jika Sahar masih kuliah di pascasarjana kampus ini, Arif sudah lebih dulu menyelesaikan studinya di pascasarjana UNM jurusan pendidikan matematika.

Banyak kisah-kisah lucu yang mereka alami selama ini. Arif yang saat ini berprofesi sebagai dosen muda di Universitas Muhammadiyah Parepare (Umpar) sering kali disangka Sahar, begitupun sebaliknya. "Salah satunya kami pernah mengelabui guru saat ujian sekolah, waktu itu Sahar sakit, saya yang gantikan," kenang Arif.

Meski kembar, Arif lebih senang kegiatan-kegiatan akademis dan olahraga, sementara Sahar, sebagai mantan aktivis, lebih sering menekuri buku-buku berat berbau kajian filsafat. Sahar bahkan biasa tidak pulang kerumahnya berhari-hari untuk ikut kajian. Juga untuk urusan pakaian, Arif terlihat lebih rapi dengan kemeja, sementara Sahar terkesan tidak peduli dengan kaos oblong seadanya.

Meski banyak perbedaan, namun untuk urusan membantu sesama, mereka berdua sama ngototnya. Berbekal ilmu dari almamater masing-masing, saat ini mereka merintis sebuah sekolah Islam gratis. Tempat yang mereka pilih, kampung halaman sendiri, sebuah daerah pesisir bernama desa Ujung Lero, Pinrang.

Tetek bengek persuratan dan rumitnya urusan adiminstrasi untuk mendirikan sekolah tidak menghentikan langkah mereka. "Sering kali gaji sebulan habis untuk sekolah itu, tapi tekad kami sudah bulat, sebuah sekolah harus berdiri disana dan harus gratis seratus persen, tanpa ada pungutan, sumbangan, atau apapun namanya," tegas Arif.

Akhirnya, bersamaan dengan hari pendidikan nasional 2 awal Mei lalu, sekolah itu berdiri. Menggunakan dana patungan. "Kami beri nama Madrasah Biharul Ulum Maarif, artinya lautan ilmu, kebetulan didirikan didekat laut," jelas Sahar.

Proses belajar mengajar di madrasah itu sebenarnya telah berlangsung, muridnya sudah lumayan banyak. Namun seperti jamak pada sekolah-sekolah gratis, sekolah ini juga cekak dalam persoalan dana. Pun begitu mereka tak sedikitpun patah semangat.

Berbagai upaya mereka lakukan agar madrasah itu tetap bernafas. Proposal dan permohonan bantuan dana sudah tidak terhitung banyaknya mereka kirim. Ada yang bersimpati, tapi lebih banyak yang tidak peduli. Yang pasti dalam benak Sahar dan Arif, anak-anak miskin di pesisir itu harus tetap sekolah.

Sebagaimana mereka berdua, Sahar dan Arif ingin agar lewat pendidikan, masyarakat miskin pesisir di kampungnya memperoleh kesempatan, sekedar memperbaiki nasib. (*)

Komentar

  1. Informatif, edukatif, dan inspiratif
    Nice post ka, jika berkenan bisa mengikuti blog sya juga ☺
    myyjourne.blogspot.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)