Rammang-Rammang, Destinasi Baru Wisata Sulsel
// Hanya Tiga di Dunia, Satu-satunya di Indonesia
Menyusurinya seperti bertamasya ke zaman megalitik. Lidah selalu mendecak kagum saat pandangan menyapu bongkahan karst dimana-mana, menyelinap diantaranya goa-goa gelap penuh misteri.
M HARIS SYAH
Maros
Bukan pertama kalinya penulis berkunjung ke Rammang-rammang, Maros. Hanya satu jam dari Makassar untuk sampai di dermaganya di Desa Salenrang. Setiba di dermaga kecil, penulis disambut oleh Kepala Desa Salenrang, Muh Nasir dengan katintingnya.
Perahu kayu bermuatan dua orang itu yang mengantar kami menyusuri sungai yang disebut Sungai Pute itu, kali ini gratis, kata Nasir. "Biasanya wisatawan bayar Rp125 ribu hingga Rp300 ribu pulang pergi," ujarnya sembari mendayung katinting.
Dari dermaga ke spot Rammang-rammang, jaraknya sekira 30 menit naik katinting. Arus Sungai Pute cukup tenang, meski sesekali penulis harus mengangkat kamera agar terhindar dari percik riak saat katinting melaju diantara bebatuan sungai.
Di sepanjang sisi sungai, pohon bakau dan nipah tumbuh subur menjelma hutan. Akarnya melingkar-lingkar dan menghunjam kuat ke dalam tanah. Satu-dua nelayan terlihat menebar jaring di sana. "Mereka mencari ikan, udang, dan, kalau beruntung ada kepiting sungai yang gurih dagingnya," tuturnya.
Semakin ke hulu, suasana menjadi semakin asing dan sepi. Tikungan sungai yang cukup tajam membuat Nasir di buritan menahan laju katintingnya. Air juga cukup dangkal dan jernih sehingga batuan karst bisa terlihat jelas didasar sungai, namun dia tahu betul mana jalur yang mesti dia ambil agar katinting tidak karam. "Ini lagi kemarau, airnya tidak terlalu dalam," katanya seperti tahu penasaranku.
Lolos dari air dangkal, kali ini tebing karst besar menghadang kami, menutup hampir sebagian lebar sungai. Di tengah tebing itu ada celah membentuk terowongan pendek yang hanya bisa dilalui satu katinting. Terowongan itu seperti gerbang memasuki spot Rammang-rammang.
Yang menyambut kami di spot Rammang-rammang adalah gugusan karst pelbagai bentuk. Sebagian memanjang, sebagian lainnya tinggi kokoh seperti menara, mengelilingi sawah, rawa, dan rumah penduduk yang bisa dihitung jari. Disana wisatawan biasa numpang menginap.
Ditengah Rammang-rammang juga telah ada balai-balai tempat istirahat, dan sebuah musala sederhana terbuat dari kayu. Sementara ditebing-tebing karst yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekira 10 menit, ada sisa kehidupan masa lampau berupa jejak telapak tangan, dilukis didinding tebing.
Namun sepertinya, spot-spot itu belum dikelola maksimal. Listrik juga baru masuk sebulan terakhir. Namun harapan besar diberikan Bupati Maros, Hatta Rahman saat ditemui penulis disela-sela Festival Full Moon awal pekan lalu. "Kita akan benahi, dermaga bisa diperluas, sementara disepanjang sungai akan dipasangi lampu agar bisa diakses hingga malam," janjinya.
Disbudpar juga tengah merancang agar spot itu lebih menarik. Salah satunya dengan menghadirkan restoran, tempat mancing, tempat isitirahat, taman satwa, serta pelbagai pembenahan lainnya untuk menjadikan Rammang-rammang layak menjadi destinasi wisata internasional.
Jika itu terealisasi, Rammang-rammang akan menjadi destinasi wisata yang bisa dikunjungi wisatawan asing dari kapal pesiar. Rammang-rammang bakal terkoneksi dengan spot-spot wisata di Makassar hingga Teluk Laikang, bisa diakses hanya dalam sehari perjalanan.
Pemkab Maros yakin gugusan karst yang hanya ada tiga di dunia yaitu di Quilin Cina, Halong Bay Vietnam, dan di Rammang-Rammang bisa menjadi nilai jual luar biasa. Hal itu dirasa tidak berlebihan, mengingat keindahan alam Rammang-rammang membuat penulis ingin berlama-lama disana. Sayang petang yang sebentar lagi tiba membuat kami harus bergegas. (ris)
Komentar
Posting Komentar