Geliat Pendidikan di Pesisir Pinrang


* Gadaikan SK, Ajak Anak Nelayan Bersekolah

Anak pesisir itu dulunya lebih memilih bekerja, membantu orangtua sebagai nelayan. Tidak ada sama sekali niat melanjutkan ke SMA. Hingga Madrasah Biharul Ulum Maarif (BUM) berdiri.

M HARIS SYAH
Wiring Tasi

Desa Wiring Tasi, kecamatan Suppa berjarak sekira 30 kilomter dari pusat kota Pinrang. Seperti namanya, desa ini terletak di pesisir pantai. Berbeda dengan desa lain disekitarnya, mayoritas warga Wiring Tasi bersuku Mandar, akses kesana cukup bagus, teraspal. meski dibeberapa badan jalan masih dijumpai lubang sedalam mata kaki.

Di Wiring Tasi, MA BUM adalah madrasah satu-satunya, yang menawarkan pendidikan gratis bagi anak-anak disana. Muhammad Fajil, satu dari 22 siswa MA BUM. Ayahnya nelayan di Wiring Tasi. Fajil tidak pernah membayangkan dirinya bisa mengenakan seragam putih abu-abu. Dulunya dia bahkan tidak berani bercita-cita. Dikepalanya, begitu lulus SMP pekerjaannya tidak akan jauh berbeda dari ayahnya.  Hal yang sama terjadi pada belasan anak-anak pesisir sebaya Fajil. Pendidikan di pesisir itu belum sepenting nasi dan ikan yang mesti hadir dimeja makan sehari-hari.

Hingga satu hari, seorang pemuda Mandar bernama Arifuddin yang bernasib sedikit lebih beruntung, mengajak Fajil melanjutkan sekolahnya yang tertunda setahun ke MA-BUM. "Kami datangi satu-satu anak nelayan yang bisa lanjut SMA, adajuga yang datang dibawa oleh keluarganya sendiri, jadilah 22 anak itu jadi siswa-siswi pertama kami," kata Arif -sapaannya-.

MA-BUM tidak berdiri begitu saja. Butuh pengorbanan yang tidak sedikit dari Arif dan keluarganya. SK pensiun ayahnya sebagai penjaga sekolah, dia agunkan di bank, demi memperoleh dana merintis sekolah di kampung halamannya itu. Apalagi, dia bertekad menjadikan MA-BUM sekolah gratis tanpa pungutan apapun. "Dari dulu memang cita-cita kami ingin bangun sekolah gratis disini, agar pendidikan Fajil dan anak-anak pesisir itu bisa lanjut," ucapnya.

Berbekal uang dari SK yang diagunkan, serta sebidang tanah wakaf di Desa Wiring Tasi, Pinrang, berdirilah BUM. Biharul Ulum Maarif sendiri berarti Samudera Ilmu Kebijaksanaan. Pas dengan posisi madrasah yang dekat dengan lautan, dan misi sekolah agar Fajil menjadi insan yang berilmu tinggi, sekaligus bijak dalam bersikap. Dua ruang kelas sederhana tanpa plafon berdiri. Ruang itu lalu disekat dengan tripleks menjadi empat bagian, ruang guru, ruang salat, serta kelas X dan XI. Kelas XI inilah yang akan segera naik kelas, namun belum memiliki ruang belajar.

Meski serba terbatas, madrasah ini ternyata menjadi favorit orangtua siswa di tiga desa terdekat, selain Wiring Tasi, Desa Lero, dan Desa Ujung Labuang. Tahun pertama, Fajil dan 21 siswa lain sudah mendaftar. Lumayan untuk ukuran sebuah madrasah, yang bahkan tanpa sambungan listrik dan air. Seperti Fajil, kebanyakan mereka adalah anak nelayan Mandar dengan ekonomi pas-pasan, tentu girang bukan main dengan hadirnya MA BUM yang tidak memungut bayaran sepeserpun.

"Dulu, daripada mereka sekolah buang-buang duit, lebih baik ikut orangtuanya cari ikan. Guru-guru ini datang, dari pintu kepintu mengajak anak-anak itu bersekolah, Alhamdulillah mau. Menurut kami ini luar biasa, meski jauh dari pengamatan pemerintah dan ekspose media, guru-guru ini menunjukkan arti ikhlas yang sebenarnya," puji saeorang tokoh masyarakat Mandar, Ahmad Kohawan.

Fajil tentu tidak diberitahu, bahwa 15 orang gurunya di madrasah itu semuanya adalah tenaga sukarela, juga tanpa honor apalagi gaji. Mereka datang silih berganti sesuai pelajaran yang mereka asuh, karena disaat bersamaan harus bekerja ditempat lain. Salah satu guru, Sahar misalnya mesti nyambi di Parepare. Arif tentu tidak mampu menggaji mereka, hanya bermodal tekad kuat agar pendidikan anak pesisir tidak terhenti dibangku SMP.

Meski gratis, Arif tetap harus menghabiskan hampir seluruh gajinya mengajar sebagai dosen di Umpar, untuk ongkos operasional madrasah itu. Selain itu, dia juga harus mengeluarkan uang ekstra mempermak madrasahnya, agar memenuhi syarat memperoleh Izin operasional dari Kanwil Kemenag. "Waktu datang menilai, mereka bahkan tanyakan mana laboratoriumnya ??? dengan kondisi begini, kami tentu kesulitan penuhi standar dari Kanwil. Tetapi disaat yang sama, kami tidak ingin biarkan anak-anak pesisir ini putus sekolah," katanya.

Kini Arif tengah berupaya mengumpulkan uang untuk membangun ruang kelas XII, yang bulan Juli nanti sudah mesti ada. Selain itu, dana kas sekolah yang masih cekak juga dia usahakan terisi, agar madrasah itu bisa terus menjadi samudera ilmu dan kebijaksanaan. Mudah-mudahan ada yang cukup bijak mengulurkan bantuan, menjaga agar Fajil dan anak-anak pesisir sebayanya itu tetap berani bercita-cita. (ris)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)