Menengok Tarekat Khalwatiyah di Maros
//Sejak 1996, Jamaah Mencapai 1000 Orang
Dijari mereka melingkar tasbih, bibir tak pernah lepas dari kalimat tauhid, mengiringi aktivitas sehari-hari. Demikianlah, mereka tetap sabar disebut sesat dan 'berbeda'
M HARIS SYAH
Barandasi
Kolong rumah berukuran 20x20 meter disulap sedemikian rupa, sehingga mirip mesjid. Rumah panggung itu terletak persis dibelakang kantor Polsek Lau, Barandasi, Maros. Disanalah para jamaah tarekat khalwatiyah melaksanakan salat dan zikir berjamaah. Petang itu penulis mengunjunginya, melihat dari dekat seperti apa keseharian jamaah yang konon jumlahnya mencapai 1000 orang itu.
Dikolong rumah itu, sepintas tidak ada yang berbeda dari masjid pada umumnya. Jamaah pria memakai kopiah, baju koko atau t-shirt. Sementara muslimah menggunakan mukenah atau baju gamis menutup aurat. Kolong rumah itu disekat untuk memisahkan jamaah pria dan wanita. Sebuah mimbar kecil disediakan untuk guru yang memberikan wejangan-wejangan seputar Islam.
Sebagaimana biasanya, usai mengumandangkan azan mereka menunaikan salat Magrib berjamaah dengan khusuk. Namun setelahnya, lantunan zikir mulai terdengar, sahut menyahut dengan suara keras, lebih keras dari yang kita dengar di majelis zikir pada umumnya. Namun hal itu terlihat tidak menganggu, malah menambah khusuk mereka yang larut dalam majelis.
"Jika memang kami disebut berbeda, satu-satunya perbedaan karena kami lakukan apa yang memang diperintahkan. Berzikir dengan kalimah tauhid, ada ketenangan tersendiri yang kami peroleh jika berzikir seperti itu," kata salah satu jamaah, Wayan Ginantra
Wayan sendiri adalah menantu almarhum Andi Amiruddin atau akrab disapa Puang Solong semasa hidup. Legenda tentang kehidupan religius Puang Solong telah dikenal di kalangan jamaah khalwatiyah. Dialah yang pertama kali membawa tarekat itu ke Barandasi, tahun 1996 silam dan telah bertahan 19 tahun hingga sekarang.
"Awalnya beliau banyak keluar daerah, berdakwah, salat berjamaah di pelbagai tempat hingga pengikutnya tersebar mencapai 50 ribu orang. Tahun 1996 beliau memutuskan menetap disini, hingga sekarang ada seribuan jamaah yang rutin disini," jelas Wayan.
Salah seorang jamaah, Muhadi menyebut dirinya mendapat perasaaan damai dan ketenangan hati sejak rutin ikut dalam majelis. Karena itu, mereka rela datang setiap hari meski dari jauh seperti Makassar, Pangkep bahkan Barru. "Jadi majelisnys tiap usai salat Magrib dan Isya. Ada mobil yang disiapkan menjemput jamaah disekitaran Maros," ujar Muhadi.
* Pernah Dituding Sesat
Dengan jamaah sebesar itu, potensi gesekan dengan umat muslim lainnya sedapat mungkin dihindari. Oleh para guru, jamaah diwanti-wanti agar selalu tawadhu dan rendah hati serta paling anti menyalahkan keyakinan orang lain. Salah satu caranya dengan tetap berzikir dalam situasi apapun. Karenanya, tidak heran jika bertemu dengan mereka, kita akan melihat dijarinya selalu melingkar tasbih.
"Kita dimotivasi bertasbih setiap saat, sehingga ada yang hilang saat kita tidak membawa tasbih. Mengucapkan kalimat tauhid membuat jiwa tenang dan hati senantiasa tawadhu," kata Muhadi sembari memperlihatkan tasbih counter miliknya.
Namun konflik bukan tidak pernah terjadi. Tahun 1997 silam majelis mereka sempat ditutup selama sepekan oleh Kejaksaan Negeri. Saat itu beredar surat kaleng yang menuding kelompok khalwatiyah sesat. Kejari memilih menutup mejelis untuk menghindari gesekan horisontal. "Kami tahu siapa yang sebar-sebar begitu, bahkan hingga sekarang tudingan terhadap kami tidak berhenti, padahal yang menuduh kami sesat justru orang yang tidak pernah kesini," katanya.
Wayan menambahkan, pihaknya sadar dianggap eksklusif oleh pelbagai kalangan. Namun dirinya mengklaim terpaksa membuat tempat zikir sendiri karena menghormati keyakinan umat muslim lainnya dan khawatir jamaah lain terganggu dengan zikir mereka.
"Kita tidak bisa ikut zikir diluar karena takut karena jamaah lain terrganggu, padahal kita juga tidak plong kalau salat tanpa zikir," jelas Wayan.
Potensi jamaah sebesar seribu orang itu juga disebut rawan dimanfaatkan kepentingan politik. Di wilayah Barandasi, suara seribu orang sudah cukup mendudukkan satu anggota dewan di DPRD Maros. "Sejauh ini, tujuan kami murni ibadah saja. Kami tidak mau terlibat politik, kami juga tidak pernah arahkan jamaah demi tujuan bisnis," tandasnya. (ris)
Dijari mereka melingkar tasbih, bibir tak pernah lepas dari kalimat tauhid, mengiringi aktivitas sehari-hari. Demikianlah, mereka tetap sabar disebut sesat dan 'berbeda'
M HARIS SYAH
Barandasi
Kolong rumah berukuran 20x20 meter disulap sedemikian rupa, sehingga mirip mesjid. Rumah panggung itu terletak persis dibelakang kantor Polsek Lau, Barandasi, Maros. Disanalah para jamaah tarekat khalwatiyah melaksanakan salat dan zikir berjamaah. Petang itu penulis mengunjunginya, melihat dari dekat seperti apa keseharian jamaah yang konon jumlahnya mencapai 1000 orang itu.
Dikolong rumah itu, sepintas tidak ada yang berbeda dari masjid pada umumnya. Jamaah pria memakai kopiah, baju koko atau t-shirt. Sementara muslimah menggunakan mukenah atau baju gamis menutup aurat. Kolong rumah itu disekat untuk memisahkan jamaah pria dan wanita. Sebuah mimbar kecil disediakan untuk guru yang memberikan wejangan-wejangan seputar Islam.
Sebagaimana biasanya, usai mengumandangkan azan mereka menunaikan salat Magrib berjamaah dengan khusuk. Namun setelahnya, lantunan zikir mulai terdengar, sahut menyahut dengan suara keras, lebih keras dari yang kita dengar di majelis zikir pada umumnya. Namun hal itu terlihat tidak menganggu, malah menambah khusuk mereka yang larut dalam majelis.
"Jika memang kami disebut berbeda, satu-satunya perbedaan karena kami lakukan apa yang memang diperintahkan. Berzikir dengan kalimah tauhid, ada ketenangan tersendiri yang kami peroleh jika berzikir seperti itu," kata salah satu jamaah, Wayan Ginantra
Wayan sendiri adalah menantu almarhum Andi Amiruddin atau akrab disapa Puang Solong semasa hidup. Legenda tentang kehidupan religius Puang Solong telah dikenal di kalangan jamaah khalwatiyah. Dialah yang pertama kali membawa tarekat itu ke Barandasi, tahun 1996 silam dan telah bertahan 19 tahun hingga sekarang.
"Awalnya beliau banyak keluar daerah, berdakwah, salat berjamaah di pelbagai tempat hingga pengikutnya tersebar mencapai 50 ribu orang. Tahun 1996 beliau memutuskan menetap disini, hingga sekarang ada seribuan jamaah yang rutin disini," jelas Wayan.
Salah seorang jamaah, Muhadi menyebut dirinya mendapat perasaaan damai dan ketenangan hati sejak rutin ikut dalam majelis. Karena itu, mereka rela datang setiap hari meski dari jauh seperti Makassar, Pangkep bahkan Barru. "Jadi majelisnys tiap usai salat Magrib dan Isya. Ada mobil yang disiapkan menjemput jamaah disekitaran Maros," ujar Muhadi.
* Pernah Dituding Sesat
Dengan jamaah sebesar itu, potensi gesekan dengan umat muslim lainnya sedapat mungkin dihindari. Oleh para guru, jamaah diwanti-wanti agar selalu tawadhu dan rendah hati serta paling anti menyalahkan keyakinan orang lain. Salah satu caranya dengan tetap berzikir dalam situasi apapun. Karenanya, tidak heran jika bertemu dengan mereka, kita akan melihat dijarinya selalu melingkar tasbih.
"Kita dimotivasi bertasbih setiap saat, sehingga ada yang hilang saat kita tidak membawa tasbih. Mengucapkan kalimat tauhid membuat jiwa tenang dan hati senantiasa tawadhu," kata Muhadi sembari memperlihatkan tasbih counter miliknya.
Namun konflik bukan tidak pernah terjadi. Tahun 1997 silam majelis mereka sempat ditutup selama sepekan oleh Kejaksaan Negeri. Saat itu beredar surat kaleng yang menuding kelompok khalwatiyah sesat. Kejari memilih menutup mejelis untuk menghindari gesekan horisontal. "Kami tahu siapa yang sebar-sebar begitu, bahkan hingga sekarang tudingan terhadap kami tidak berhenti, padahal yang menuduh kami sesat justru orang yang tidak pernah kesini," katanya.
Wayan menambahkan, pihaknya sadar dianggap eksklusif oleh pelbagai kalangan. Namun dirinya mengklaim terpaksa membuat tempat zikir sendiri karena menghormati keyakinan umat muslim lainnya dan khawatir jamaah lain terganggu dengan zikir mereka.
"Kita tidak bisa ikut zikir diluar karena takut karena jamaah lain terrganggu, padahal kita juga tidak plong kalau salat tanpa zikir," jelas Wayan.
Potensi jamaah sebesar seribu orang itu juga disebut rawan dimanfaatkan kepentingan politik. Di wilayah Barandasi, suara seribu orang sudah cukup mendudukkan satu anggota dewan di DPRD Maros. "Sejauh ini, tujuan kami murni ibadah saja. Kami tidak mau terlibat politik, kami juga tidak pernah arahkan jamaah demi tujuan bisnis," tandasnya. (ris)
Komentar
Posting Komentar