PSM, Gelar Juara dan Perjuangan Diluar Lapangan


Penulis: M Haris Syah (pengajar, mantan jurnalis, pernah beberapa kali meliput PSM)
Salah satu atmosfer yang paling kurindukan di Mattoanging, adalah suasana ruang jumpa pers sesaat setelah pertandingan berakhir. Selain euforia suporter di tribun tentunya.
Waktu itu, peluh keringat Syamsul Chaeruddin dkk belum juga kering, tetapi mereka sudah harus hadir dihadapan puluhan sorot kamera. Hans Peter Schaller, pelatih PSM saat itu belum didampingi penerjemah. Sedikit bekal kemampuan Bahasa Inggris sungguh sangat membantu. Dua rekan saya sesama desk PSM, Ardiansyah Hendartin dan X Ashri Teruna malah lebih fasih.
Sesaat sebelum azan Magrib tadi, klub kebanggaan Sulsel ini mencatat sejarah baru menjadi juara. Trofi Piala Indonesia tidak jadi dibawa pulang ke ibukota. Dahaga 19 tahun tanpa trofi berakhir.
Atmosfer ruang jumpa pers itu kembali melintas dibenak saya. Kilatan flash dan suara jepretan kamera silih berganti dengan pertanyaan yang dilontarkan wartawan.
Sebagai jurnalis sekaligus pendukung PSM, cukup sulit memposisikan diri netral. Kemenangan PSM selalu kami disambut euforia. Kekalahan (apalagi jika lawan atau wasit curang) selalu bikin kita jengkel. Tapi karya jurnalistik yang dikirim ke ruang redaksi harus tetap berimbang.
Sekarang, sebagai bekas jurnalis bolehlah berpendapat sedikit, tetapi dari perspektif seorang suporter. Suporter garis keras tapi lebih sering streaming. 
Kita mungkin harus sepakat, perjuangan berat PSM hingga trofi ini direbut, bukan hanya terjadi diatas lapangan.
Apa yang terjadi diluar sering kali lebih menentukan. Saya tau ini. Sebab bau busuk mafia dan lingkaran setan dalam dunia bal-balan tanah air pernah saya rasakan, sangat dekat.
Kita patut berterima kasih pada pak Appi. Yang ngotot menolak bertanding leg kedua jika bukan di Mattoanging. Jika bertarung di tempat netral, mungkin PSM bakal dikerjai lagi habis-habisan. Yang mereka lawan bukan cuma Persija, tetapi banyak faktor X dibelakangnya. Apalagi ditengah mental pemain yang runtuh setelah gagal bertanding akibat Macan itu balik ke kandangnya lebih awal.
Tekanan kuat dari suporter PSM se-Indonesia tak kalah pentingnya. The power of netizen juga tak boleh dipandang enteng. PSSI takluk diserang 7 hari 7 malam oleh netizen yang budiman. Jangan lupa pula berterima kasih atas ketegasan pengadil, Farid Hitaba. Saya yakin ada banyak godaan yang ia tolak demi menjalankan amanah itu sebaik-baiknya.
Dan pada akhirnya, kerja-keras pemain ala karakter Makassar yang tak kenal lelah, mengunci gelar itu. Selamat PSM. Berikutnya, trofi Liga 1. Ewako!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)