Covid-19 dan Sikap Kita Menghadapinya



Pada perang khandaq, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membuat parit. Idenya berasal dari Salman Al Farisi.

Konon, parit itu panjangnya 5,5 Km, dengan lebar 4,6 meter, dan dalamnya mencapai 3 meter lebih. Setiap orang diberi jatah menggali sekira 40 hasta. Dengan jumlah sahabat yang ada saat itu, butuh 10 hari hingga parit selesai.

Alhasil, musuh tidak berhasil menembus Madinah. Korban jiwa yang menjadi syuhada dari kalangan muslimin hanya enam orang.

Pertanyaannya, mengapa nabi dan para sahabat mesti capek-capek bikin parit? Bukankan serangan kepada muslimin ini adalah takdir yang harus dijalani? Lagi pula, jika tewas pada perang itu dicatat sebagai mati syahid.

Masih banyak lagi peristiwa serupa dalam sejarah Islam. Yang sekiranya bisa menjadi pelajaran bahwa menghadapi sesuatu yang mengancam keselamatan, kita diwajibkan berikhtiar semaksimal mungkin. Berikhtiar adalah bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).

Ikhtiar menghadapi pandemi Covid-19 ini, meliputi segala upaya yang kita lakukan agar tidak terpapar. Termasuk didalamnya, mematuhi ulil amri dan ulama-ulama kita agar (untuk sementara) tidak bersalaman. Bahkan menurut fatwa ulama, Imam Al-Azhar dan MUI, salat berjamaah di mesjid boleh ditinggalkan.

'dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya,'

Sayangnya, sebagian orang menanggapi imbauan ini dengan kesalahan berpikir dan asumsi irrasional. Konon ini upaya menzalimi umat Islam, upaya menjauhkan umat dari mesjid, dan semacamnya sebagaimana pesan dan postingan yang tersebar di whatsapp dan facebook. Bahkan yang paling ekstrim, katanya jangan takut selain pada Allah.

Justru dengan tidak menjaga diri semaksimal mungkin dari paparan virus, adalah sikap takabur. Takabur, karena merasa tidak akan terpapar meski abai pada imbauan pemerintah dan ulama. Takabur, karena tidak menghargai dan mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan tuhan.

Bagus kalau yang kena virus dirinya saja, tetapi jika akibat tindakannya itu keluarganya dan orang banyak ikut terjangkit? tentu dia menjadi musabab atas penderitaan oranglain. Dengan kata lain, dia telah berlaku zalim terhadap oranglain.

Sikap hati-hati kita juga adalah bagian dari rasa takut kita pada Allah SWT. Takut karena nikmat kesehatan yang telah Ia berikan, kita sia-siakan. Nikmat keluarga yang telah Ia anugerahkan, malah kita buat menderita. Takut karena jangan sampai gara-gara kita, oranglain jadi terjangkit juga.

Sebagian kita tidak mampu membedakan mana area aqidah, mana ikhtiyariyah. Bagi mereka, asal berbau agama semua dipukul rata.

Oh yah, sikap begini tidak hanya terjadi dikalangan umat Islam saja. Disebutkan pemred Wired, Nicholas Thompson, 80 persen kasus corona di Korsel kemungkinan disebabkan oleh satu jemaat yang menolak dites covid-19.

Sehingga kekhawatiran terbesar saya sebenarnya bukan pada virus ini, tetapi sikap sebagian kita menghadapinya. Segala upaya pemerintah, kerja keras petugas medis, dan masyarakat dalam menjaga diri dari virus, bisa ambyar dan sia-sia karena pemikiran dan tindakan semberono orang-orang semacam ini.

Semoga Allah SWT mengasihi kita dengan kekuatan, kesehatan dan kejernihan fikiran serta tindakan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)