15 Tahun Desa Bone-bone Bebas Rokok


Desa Bone-bone di Enrekang dikenal luas dengan larangan merokoknya. Kini sudah 15 tahun sejak aturan itu pertama kali diberlakukan, tahun 2005 silam. 

Saya mengunjungi desa ini pekan lalu, saat menemani kawan dari Trans7 Hasrul Nawir meliput untuk program CNN Heroes. Kami ditemani pak Kabid Promosi Pariwisata pak Zulkarnain Surianto dan Om Ohe Magenta yang dengan murah hati meminjamkan drone-nya.

Untuk kesana, butuh perjalanan sekira 1,5 jam dari pusat kota Enrekang. Lumayan jauh dan medannya menantang. Untungnya jalanan sudah dibeton mulus, dan pak Kadispopar berkenan meminjamkan Innova-nya.

Desa ini berada di ketinggian kurang lebih 1500 Mdpl. Meski masih berada di kaki gunung Latimojong, namun udaranya sudah lumayan dingin. Untung saya pakai sweater, Hasrul menyesal meninggalkan jaket-nya di bagasi motor.

Kami menyusuri jalanan yang membelah perbukitan, sambil menikmati pemandangan sawah terasering yang ditanami beras khas Pulu Mandoti. Beras yang hanya bisa tumbuh disekitar desa itu saja. Sesekali kita berpapasan dengan warga yang hendak ke kebun atau truk pengangkut hasil bumi. Kalau berpapasan dengan truk, salahsatunya mesti mengalah, mundur sampai dapat jalanan yang cukup lebar dilalui dua mobil.

Setelah beberapa kali berhenti untuk mengambil gambar pendukung, kami tiba di desa dan langsung menuju ke rumah pak Idris, Kades yang menggagas ide Desa Bebas Rokok ini.

Proses take video berlangsung hampir tanpa kendala. Hanya saat menerbangkan drone, om Ohe sempat terganggu signal minim. 

Setelah tuntas, kami berbincang santai sambil disuguhi kopi khas Enrekang yang diseduh adik-adik mahasiswa yang kebetulan KKN di desa ini. Udara dingin dan kopi panas pas sekali, sayang kopinya tidak ada temannya 😄

Pak desa bercerita, larangan merokok sudah dimulai sejak 2005. Namun efektif berlaku menjadi perdes mulai 2007. Sanksi menanti bagi warga yang kedapatan melanggar. Mulai dari bayar denda, sampai hukuman kerja sosial dan menanam pohon. 

Peraturan ini rupanya tak pandang bulu. Pernah sekali waktu di desa itu ada acara yang dihadiri banyak pejabat eselon. Dua orang diantaranya kedapatan merokok dan harus dihukum. Saya lupa hukumannya apa.

Selain bebas rokok, desa ini juga bebas ayam broiler. Kalau mau makan ayam, warga memilih memotong ayam kampung saja, sekaligus meningkatkan ekonomi peternak lokal.

Pak desa bilang, semua kebijakan itu awalnya ditentang sebagian warga. Memang tak pernah mudah menyamakan persepsi penduduk yang mencapai 1000 orang lebih. Mulai dari persoalan mata pencaharian penjual rokok, sampai perantau pulang kampung atau tamu yang tidak tahan kalau tidak mengisap rokok. Apalagi sehabis makan. Sebagai mantan perokok, saya paham rasanya tidak merokok setelah makan. 

Sehingga maklum jika ada yang nekat merokok sembunyi sembunyi. Tapi mereka sering ketahuan. Konon karena pak desa punya indra penciuman yang tajam. Saya tidak berani tanya benar tidaknya.

Lama kelamaan warga mulai terbiasa. Manfaatnya pun mereka rasakan. Kantong makin tebal dan ibu-ibu dapat uang belanja lebih, karena tak perlu lagi beli rokok. 

Yang paling menggembirakan, Puskesmas Pembantu (Pustu) Bone-Bone melaporkan penurunan signifikan warga yang sakit. Bahkan sakit pernapasan akibat rokok turun hingga 0 persen. Sebagai perbandingan, ada 230 ribu orang meninggal dalam setahun akibat rokok.

Prestasi Desa ini lantas menjadi sorotan nasional. Berulangkali desa ini dikunjungi jurnalis dan NGO mancanegara. Mungkin karena itu, pak desa dan warga tak canggung lagi disorot kamera. 

Pak desa juga beberapa kali diundang sebagai pembicara dan diganjar penghargaan. Sebuah piala setinggi 1 meter dan beberapa piagam terpajang dirumah itu. Satu dari WHO, satunya lagi dari UNHAS.

Prestasi itu juga mengantar pak desa berkesempatan menjabat tangan presiden. Bahkan sampai dua kali!. Sekali dengan pak SBY dan sekali dengan pak Jokowi. "Dimana lagi ada kades dari desa terpencil bisa jabat tangan dua kali sama presiden?" katanya bangga.

Saya menantang pak desa, inovasi itu dikembangkan lebih jauh. Mungkin mencoba jadi desa bebas sampah plastik, atau desa bebas makanan berpengawet. Bisa? (***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)