Media Cetak dan Senjakala yang Datang Lebih Cepat
Saya masih sangat hafal, harga majalah Bola Rp7000 medio 2005...
Setiap Selasa dan Jumat,,, uang jajan di SMA mesti sy sisihkan, untuk sekadar tau bagaimana pergerakan klasemen Liga Italia dan Inggris, sudah diperingkat berapa tim kesayangan, Liverpool. Waktu itu belum ada livescore.
Untuk berita lokalan, paling halaman pertama yg saya cari adalah sepakbola nasional. Sudah berapa gol yang dicetak Ronald Fagundez di PSM.
Atau sok-sok'an membantah analisis canggih bung Ian Situmorang..
Beranjak kuliah, om yang saya tempati numpang tinggal berlangganan Kompas. Saya paling senang membaca kolom Kilasan Kawat Dunia. Isinya peristiwa-peristiwa unik dari manca negara. Gaya penulisannya yang ringkas padat juga menarik.
Saat dipanggil masuk ruang dosen (paling sering gegara malas masuk kuliah, atau memprovokasi teman2 turun demo) yang pertama sy cari bukan dosennya, tetapi koran langganan kampus. Tribun Timur, FAJAR dan Parepos saat itu sudah hadir digantung rapi disudut ruangan.
Kelebat kenangan itu kembali terlintas meski sepotong-sepotong. Malam ini saya membaca ulasan tentang senjakala media cetak. Bagaimana satu persatu media cetak terpaksa gulung tikar. Sebenarnya hal yang sudah dibahas bertahun-tahun sebelumnya. Tetapi, ternyata senja itu datang lebih cepat daripada prakiraan.
Sinar Harapan, Harian Bola, Koran Tempo Minggu, Jakarta Globe adalah hanya sebagian dari banyak media cetak yang terpaksa tutup. Itu belum dihitung beberapa koran lokal Sulsel. Kita pernah berkenalan dengan koran Inilah, koran Pedoman Makassar, koran Ajatappareng, dan banyak media cetak lain yang kini tinggal nama.
Kejadian serupa terjadi dinegara digdaya, Amerika. The Washington Post dan The New York Times beralih ke online. Selain tingginya biaya cetak, kertas dan tinta, serbuan 'media' online makin tak terkendali.
Saat masih bekerja disalah satu koran besar di Sulsel, beberapa teman pernah diskusi dengan saya soal ini. Waktu itu kami duduk ditangga lantai 4, tempat favorit untuk mengisap clasmild beberapa batang sebelum kembali bergelut dengan deadline. "Ulasan berita koran mesti lebih dalam,". "Perkuat analisis," "Perkaya berita peristiwa dengan statment eksklusif dari tokoh-tokoh kunci,". Demikian beberapa yg saya dengar. Namun tetap saja, senja datang semakin cepat.
Saya juga pernah menjadi kepala biro, mengurusi oplah (berapa banyak koran yang mesti terjual). Tugas yang saya emban saat itu sederhana. Pertahankan oplah. Koran sudah mengibarkan bendera putih dalam hal meningkatkan penjualan. Karena, mempertahankan saja sudah merupakan prestasi luar biasa. Namun lagi, oplah terus merosot. Senja semakin dekat saja. (*)
Komentar
Posting Komentar