Ikutan Ribut Tentang Cadar dan Cingkrang
Ilustrasi (foto: The Conversation) |
Wacana melarang ASN memakai celana cingkrang dan cadar, menjadi bola panas. Sepekan sudah masalah ini jadi polemik. Berkepanjangan, digoreng sana-sini, dikomentari ragam kalangan.
Padahal, aturan ini belum juga diberlakukan. Sebagian yang merespons menolak justru ternyata bukan ASN. Mereka hanya sekadar ikut meramaikan budaya bermedsos kita yang penuh nyinyir dan caci maki.
Saya tertawa lebar membaca berita Detik.com, tentang salah seorang artis hijrah ikutan komentar tentang larangan ini. Seorang warganet yang lugu menimpali, 'Itu aturan untuk ASN, Bambang !. Bukan untuk artis'
Bagi saya (yang kebetulan ASN), kita mesti melihat hal ini secara jernih. Yang akan dilarang adalah ASN. Bukan akhi-ukhti syar'i-syar'i-an, bukan artis hijrah-hijrahan, bukan pula ibu-ibu pengajian.
Adalah benar bahwa berpakaian itu adalah masalah privat seseorang. Tetapi ASN terikat oleh aturan-aturan. Ini pointnya. Dan ini wajib dihormati dan dilaksanakan oleh semua ASN. Jika tidak bersedia, pintu keluar terbuka lebar-lebar.
Tata berpakaian ASN utamanya saat bekerja, bukan lagi masalah privat, melainkan sudah jadi ranah publik. Apa pasal? Sebab ini terkait pelayanan masyarakat dan kinerja pemerintahan.
ASN boleh telanjang bulat dirumah sendiri. It's okey. Itu urusan kamu. Tapi bugil di kantor pemerintahan sambil melayani masyarakat, tentu jadi masalah umum. Tata berbusana ini yang coba diatur oleh Menag.
Lantas bagaimana dengan hak ASN memakai pakaian sesuai agamanya? Apakah ini berarti pemerintah berlaku zalim sebab membatasi ekspresi keber-Islam-an seorang ASN?
Sejauh yang saya pahami, cadar adalah budaya. Bukan merupakan busana keagamaan. Terlebih lagi saat ini, cadar (yang ala ukhti-ukhti disebut niqab) justru jadi semacam mode atau fashion (terutama pasca tren Syar'i dan Hijrah melanda Indonesia).
"Kalau senyum adalah ibadah, lalu buat apa pakai cadar?" ini bukan hadis. Ini quote satir dari Nurhadi-Aldo.
Demikian pula celana cingkrang. Pada tradisi Arab masa lalu, isbal atau memanjangkan kain dibawah mata kaki dianggap sombong. Yang dilarang agama adalah sombongnya. Sebab, isbal dibolehkan asalkan niatnya bukan menyombongkan diri. Justru memakai celana cingkrang dengan niat sombong (atau merasa diri lebih syar'i bahkan lebih beriman dari lainnya), juga dilarang agama.
Akan lain halnya jika Menag bilang akan melarang jilbab dilingkungan pemerintah. Nah ini baru anda nyinyiri, kalau perlu buatkan demo berjilid-jilid, lalu reuni, lalu demo lagi. :D
* Blunder atau Berani ?
Apakah dengan melarang cadar dan cingkrang efektif mengatasi radikalisme? We will see... Tetapi menurut saya, mengatasi radikalisme bukan dengan mengurusi apa yang dikenakan orang.
Melarang cadar dan cingkrang justru akan membuat mereka yang telah terpapar radikalisme semakin solid. Mereka semakin punya pembenaran -meski itu jelas fallacy- bahwa pemerintahan ini memang thugut, dan 'menzalimi' umat Islam. Alih-alih mengatasi, mereka justru makin radikal.
Status kawan saya, radikalisme itu adalah pemikiran, dan cara berpakaian orang adalah cermin pemikirannya. Tapi ini tidak selamanya benar. Saya mengenal beberapa orang bercadar dan cingkrang, tetapi rasa-rasanya nasionalismenya tidak terganggu.
Akan lebih efektif jika Menag fokus pada akar masalah radikalisme selama ini. Model pendidikan dan kurikulum (dan gurunya) yang tidak toleran, ustaz-ustazah wahabi, konten-konten khotbah dan pengajian yang dipenuhi ujaran kebencian, doktrin takfirisme dan hoax.
Radikalisme harus dilawan dengan cara memutus mata rantai ini. Patahkan narasi radikalisme yang mereka doktrinkan dengan narasi toleransi dan pluralisme. Melakukan hal ini, pemerintah harus punya nyali lebih. Apakah Menag berani melarang ceramah seorang ustaz berfollower ribuan orang yang sering nge-tweet hoax (lalu dihapus). ?
Mungkin dengan alasan 'punya nyali' inilah, Presiden Jokowi memilih Menag dari kalangan militer. Tapi melihat sepakterjangnya yang penuh blunder diawal menjabat, saya kok jadi ragu yah. Bagaimana, pak menteri ?
Komentar
Posting Komentar