Peristiwa Ghadir Khum dan Kecintaan pada Imam Ali
Ilustrasi peristiwa Ghadir Khum (gambar: ABNA) |
M Haris Syah
Tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad SAW bersama ratusan ribu kaum muslimin menunaikan ibadah haji. Khusus bagi Baginda Nabi, itu adalah hajinya yang terakhir (haji wada). Momentum berkumpulnya kaum muslimin yang harus beliau manfaatkan sebaik-baiknya untuk menyampaikan kesempurnaan Islam, sebelum berpulang pada sang Khalik.
Dalam perjalanan pulang dari Mekkah ke Madinah, Jibril mendatangi nabi dengan membawa Al Maidah 67; tepat pada 18 Dzulhijjah. "Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalahNya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir"
Nabi kemudian meminta kaum muslimin berhenti di suatu tempat antara Mekkah dan Madinah, bernama Ghadir Khum. Ia memerintahkan sahabat mengumpulkan bebatuan untuk dijadikan mimbar. Beliau lalu berpidato diatas mimbar tersebut dan menyampaikan hadis sambil memegang tangan Sayyidina Ali dan mengangkatnya ;
“Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian, lebih dari diri kalian sendiri, dan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian ? Maka barangsiapa menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya..."
Dalam riwayat lainnya, Nabi tidak hanya mengangkat tangan Ali, tetapi juga memindahkan sorban yang beliau pakai ke kepala Ali. Hal itu dimaksudkan agar sahabat yang tuli atau tidak mendengar dapat mengerti maksud Nabi. Setelah turun dari mimbar, Ali diselamati oleh para sahabat lainnya.
Baik kalangan muslim Sunni maupun Syiah mengakui kebenaran hadis ini. Bahkan disebut hadis mutawatir sebab banyaknya sahabat yang meriwayatkan. Maklum, yang mendengar/melihat peristiwa itu disebut mencapai 120 ribu kaum muslimin.
Namun ada perbedaan penafsiran dalam memahami hadis diatas. Ada yang mengatakan, kata maula 'hanya' berarti kekasih atau bermakna sahabat tercinta. Kalangan muslim Syiah meyakini bahwa kata maula berarti pemimpin. Bagi penganut mahzab ini, peristiwa tersebut menjadi salah satu hari besar yang diperingati setiap 18 Dzulhijjah yang dinamakan Idul Ghadir. Sebab menjadi salah satu bukti paling otentik legitimasi Ali sebagai imam dan khalifah pasca Nabi.
Perbedaan penafsiran ini menjadi salah satu titik awal terpecahnya kalangan Sunni dan Syiah. Tetapi saya bukan ahli tafsir, yang kompeten membahas mana penafsiran yang benar. Biarlah penafsiran yang saya yakini menjadi milik saya sendiri.
Satu hal yang tidak bisa disangkal, adalah begitu istimewanya kedudukan Sayyidina Ali di mata Rasulullah SAW. Mungkin seperti kita jika dipuji-puji pimpinan ditengah rapat. Atau bahkan diberi pengumuman promosi jabatan. Rasanya tentu membanggakan sekali. Apalagi yang memuji dan memberi promosi ini adalah Nabi tercinta.
Tanpa mengurangi penghormatan pada sahabat nabi yang lainnya, Sayyidina Ali memang memiliki sederet keistimewaan. Selain sebagai menantu nabi, Beliau satu-satunya Khulafaur Rasyidin yang didepan namanya tersemat gelar Imam. Ia juga diberi gelar Karamallahu Wajhah (biasa disingkat Kw atau Kwh), yang artinya 'yang wajahnya dimuliakan'. Sayyidina Ali memang satu-satunya sahabat nabi wajahnya tak pernah tunduk (baca; menyembah) pada berhala.
Bagi pegiat literasi, hal lain yang spesial dari Imam Ali adalah aforisme-aforisme yang tersusun indah dalam Nahjul Balaghah. Tak jarang saya menemukan quote, kalimat bijak nan inspiratif disebut di berbagai forum, atau dituliskan teman-teman di medsos yang berasal dari Nahjul Balaghah. Meski kadang sumbernya tidak dikutip.
Dalam tradisi Bugis Makassar, kita familiar dengan kata 'paggerra'na Ali', 'pajjagguru'na Ali'. Pada Syair perang mengkasar’ salah satu baitnya berbunyi: 'Keempat sahabat baginda Ali lagi menantu kepada Nabi, gagahnya indah tidak terperi. Harimau Allah ia dinamai'. Simak pula ayat-ayat pemikat hati yang bunyinya ; 'Ali, karawai Fatimah, Fatimah nappi wedding. Dua gi Muhammad, na dua gi napoji.' Bahkan hingga etika hubungan intim ala Bugis yang disebut Assikalibineng, hubungan suami istri yang lebih mulia dan terhormat juga disandingkan dengan Ali dan Fatimah.
Terlepas dari segala keistimewaan itu, kecintaan Nabi terhadap Sayyidina Ali kiranya cukup menjadi dasar bagi kita untuk turut memuliakan beliau.
Selamat memperingati Idul Ghadir
Enrekang, 18 Dzulhijjah 1441 H
Komentar
Posting Komentar