Blaze dan Upaya Menemukan Metode BDR Efektif
gambar: amazon.co.uk |
Akhir-akhir ini bocah saya yang baru 4 tahun, Hasan, paling senang nonton channel Nick JR. Hampir semua acaranya film kartun. Dari pagi buta sampai pagi lagi.
Salahsatu kartun favoritnya Blaze and the Monster Machines. Blaze adalah seri animasi dengan muatan pendidikan. Bercerita tentang petualangan Blaze si mobil dan teman-temannya. Kartun ini disajikan interaktif, berbasis masalah sederhana, memancing anak belajar sains, teknologi, matematika dan logika dasar. Ada banyak kartun lain seperti Blaze di TV sekarang. Hasan hafal jam tayang Petunjuk Blue, Paw Patrol, Bubble Guppie, dan lain-lain.
Hasilnya, Hasan (dan sepertinya juga rerata anak-anak seusianya) sudah mengenal angka 1-20, alfabet lengkap, menyebutkan rupa-rupa bentuk dan warna, bahkan beberapa kosakata Bahasa Inggris! Dalam pendidikan formal, itu semua baru dipelajari di TK hingga SD kelas 1-3.
Tempo saya kanak-kanak dulu, yang dijejalkan di kepala kami adalah Sinchan yang mesum, Doraemon yang mengabulkan semua keinginan, atau Power Ranger yang selalu menang. Untung ada Unyil yang sedikit banyak menyelamatkan karakter kami.
Sebagai ayah saya merasa senang dengan kemampuan Hasan. Tetapi sebagai guru, ini membuat saya merenung dan berpikir. Mungkinkah anak-anak belajar dengan tidak perlu ke sekolah? Bagaimana jika apa yang disajikan Blaze dan dipelajari Hasan, dibuat versi advance-nya? berjenjang hingga ke tingkat yang lebih tinggi? Seperti apa formula pendidikan dasar (SD-SMP) yang paling menarik atensi anak?
Pendidikan dasar memang idealnya dikemas dalam dunia anak-anak. Agar ia bermakna sekaligus menyenangkan. Bukan melulu di ruang-ruang formal yang menakutkan dan membosankan. Guru dan orangtua mestinya ikut menonton Blaze dan sebangsanya itu.
Kini, pandemi Covid-19 memaksa guru menerapkan Belajar dari Rumah (BDR) dengan segala kendalanya. Sudah hampir 9 bulan. Pemerintah membuka wacana sekolah tatap muka mulai Januari ini. Tetapi melihat situasi pandemi, saya pesimis.
Saya (dan mungkin sebagian guru lain) harus mengakui masih gagap dalam menemukan model BDR yang pas. Tak perlu muluk-muluk pembelajaran 'bermakna dan menyenangkan'. Yang ada belajar mengajar berantakan. Target ketuntasan belajar bukan lagi prioritas.
Tetapi saya melihat BDR sebagai peluang, untuk menunjukkan bahwa belajar dari rumah bisa sama efektifnya dengan belajar di sekolah. Bahkan mungkin lebih. Para pejabat yang berwenang dan para ahli pendidikan mesti cepat-cepat menemukan formulanya.
BDR yang efektif, mungkin mirip homeschooling yang institusional. Anak tidak melulu belajar online di rumah, menyimak video atau praktek mandiri. Anak bisa keluar ke lingkungan sekitar, berkunjung ke perpustakaan daerah, lapangan, museum, situs sejarah, bahkan tempat wisata. Tentu dengan menerapkan protokol kesehatan. Komitmen orang tua dalam menemani anak belajar, serta kreatifitas guru membimbing pembelajaran dari rumah adalah kunci utama agar BDR tetap berkualitas.
Di negara-negara yang pendidikannya sudah maju, seperti Jepang atau Finlandia, saya memprediksi kualitas pendidikan mereka tidak banyak terpengaruh oleh pandemi dan BDR. Negara-negara tersebut sudah sejak lama 'bersiap' dengan segala inovasi dan kecanggihan teknologinya.
Saya pernah baca, siswa SD di Finlandia tidak mengenal ulangan. Guru tidak diikat silabus atau RPP. Di Jepang kurang lebih sama. Mereka lebih difokuskan belajar sopan santun dan kecakapan hidup, sambil sesekali mengutak-atik robot sederhana.
Sementara saya (untuk tidak menyebut kita) sekadar menggugurkan kewajiban mengajar, dengan mengirim link YouTube dan foto tugas via grup WA kelas. Konyolnya lagi, ditengah pandemi ini masih ada supervisi yang mencari-cari 20 jenis administrasi kelas yang memuakkan itu, dan akhirnya saya bayar orang untuk membuatkan. Merdeka Mengajar ala Mas Menteri hanya pepesan kosong.
Saya lebih banyak sibuk ikut webinar dengan jaringan tersendat. Webinar bertajuk bimtek ini, penguatan itu, dan sejenisnya. Kadang kalimat yang paling jelas didengar hanya 'maaf pak, bu, putus-putus suara ta'. Sisanya adalah kantuk dan tak peduli, sebab sudah mengisi daftar hadir. Tinggal tunggu kiriman e-sertifikat 64 JP.
Ada sebagian kecil kawan guru membuat video pembelajaran dan diunggah di YouTube. Terimakasihku untuk mereka, sebab saya paling sering memakai videonya. Pemkot Parepare dengan TV Peduli-nya selangkah lebih maju dalam menyiasati kendala BDR. Mirip TVRI, guru diminta secara bergilir mengajar lewat siaran TV. Siswa menyimak dari rumah sesuai jadwal kelas masing-masing.
Kini, kita terus menantikan inovasi-inovasi BDR yang efektif, dan gebrakan yang lebih berani dari Mendikbud.
Selebihnya, untuk saat ini biarkan anak-anak kita nonton Blaze sepuasnya. Sambil banyak-banyak bersabar menunggu pandemi mereda. Semoga. (*)
Komentar
Posting Komentar