Ceritakan Sulsel Lewat Historiografi
*) Dari Pameran Foto 69 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Soekarno pernah berkata, Jangan tanya apa yang diberikan negara untukmu, tapi tanyakan pada dirimu apa yang telah kau persembahkan untuk negaramu ?
Maka pameran 69 foto ini, adalah persembahan 30 pewarta foto untuk 69 tahun kemerdekaan Indonesia.
M HARIS SYAH
Trans Studio Makassar
-----------------------
Suasana lantai tiga Trans Studio Makassar, Kamis kemarin terasa berbeda. Sebuah layar berukuran 3x3 meter memutar slide proyektor bergantian, sementara disekitarnya, puluhan orang tengah mengamati foto-foto yang dipajang di stand sepanjang selasar, memutar hingga ke bagian belakang mall.
Foto-foto itu kelihatan elegan dibalut bingkai hitam, semakin menarik karena foto-foto utama yang ditampilkan bernuansa nasionalis. Merah dan Putih senada dengan warna spanduk dan slide pada layar. Hari itu, Pemprov Sulsel bekerja sama dengan Galeri Foto Jurnalistik Antara Makassar mengadakan pameran foto, 28-31 Agustus.
Salah satu teamwork pameran, Sahrul Manda Tikupadam berkenan membeberkan konsep pameran yang dibuka oleh Gubernur tersebut. "Rasa proklamasi dan nuansa nasionalisme kita angkat. Ini adalah persembahan kami, para fotografer di suasana dirgahayu kemerdekaan," ujarnya.
Sahrul menjelaskan, foto yang dipamerkan selama tiga hari kedepan adalah karya 30 fotografer Makassar. Kesemuanya berjumlah 69 foto, identik dengan 69 tahun kemerdekaan Indonesia.
"Selama 69 tahun itu sudah berlalu dengan banyak perubahan. Kami, memilih menceritakan perubahan-perubahan itu lewat media visual ini," jelasnya.
Pembukaan pameran kemarin menarik perhatian para pengunjung mal. Diantara mereka terlihat mengabadikan gambar yang menurutnya bagus. Bahkan, dibeberapa sudut, ada yang tak segan-segan selfie dengan latar belakang foto kesukaannya.
Sang Kurator, Yusuf Ahmad memilih foto-foto bernuansa nasionalis sebagai foto utama yang dipajang di bagian depan. Terlihat, foto panjat pinang, lomba khas tujuhbelasan, foto seorang kakek ikut pawai dengan seragam merah-putih karya Lia Lestari Lobo. Juga ada foto Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo bersama Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Joko Widodo yang tengah meninjau beras. Warna karung beras itupun lagi-lagi merah-putih.
Salah satu fotografer yang karyanya ikut dipemerkan adalah Abriawan. Ia mengirimkan beberapa foto ke redaksi Antara. Dan ternyata, dua buah fotonya dianggap layak mendapat tempat di pameran itu. Karyanya, foto pembuatan kapal Phinisi di Desa Bonto Bahari turut menyita perhatian. "Saya bangga, apalagi kuratornya Yusuf Ahmad," ujarnya.
Semakin ke belakang, foto-foto itu semakin menarik saja. Semuanya dirangkai begitu serasi dalam urutan kronologis. Dengan mengamatinya dari depan kebelakang, foto-foto itu seakan bercerita tentang Sulsel, budaya, pendidikan, ekonomi dan pariwisatanya. Foto-foto itu mungkin tidak banyak gunanya saat ini. Tapi tahun-tahun berikutnya, foto-foto itu akan menjadi bagian berharga dari sejarah.
Kurator Yusuf Ahmad berujar, setiap detiknya, Sulsel telah mencatat sejarah sebagai sebuah historiografi. Tapi jika divisualisasikan, sesungguhnya sejarah itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu siap dibuka, ditengok, disaksikan untuk pegangan menatap masa depan, kapan pun. (*)
Soekarno pernah berkata, Jangan tanya apa yang diberikan negara untukmu, tapi tanyakan pada dirimu apa yang telah kau persembahkan untuk negaramu ?
Maka pameran 69 foto ini, adalah persembahan 30 pewarta foto untuk 69 tahun kemerdekaan Indonesia.
M HARIS SYAH
Trans Studio Makassar
-----------------------
Suasana lantai tiga Trans Studio Makassar, Kamis kemarin terasa berbeda. Sebuah layar berukuran 3x3 meter memutar slide proyektor bergantian, sementara disekitarnya, puluhan orang tengah mengamati foto-foto yang dipajang di stand sepanjang selasar, memutar hingga ke bagian belakang mall.
Foto-foto itu kelihatan elegan dibalut bingkai hitam, semakin menarik karena foto-foto utama yang ditampilkan bernuansa nasionalis. Merah dan Putih senada dengan warna spanduk dan slide pada layar. Hari itu, Pemprov Sulsel bekerja sama dengan Galeri Foto Jurnalistik Antara Makassar mengadakan pameran foto, 28-31 Agustus.
Salah satu teamwork pameran, Sahrul Manda Tikupadam berkenan membeberkan konsep pameran yang dibuka oleh Gubernur tersebut. "Rasa proklamasi dan nuansa nasionalisme kita angkat. Ini adalah persembahan kami, para fotografer di suasana dirgahayu kemerdekaan," ujarnya.
Sahrul menjelaskan, foto yang dipamerkan selama tiga hari kedepan adalah karya 30 fotografer Makassar. Kesemuanya berjumlah 69 foto, identik dengan 69 tahun kemerdekaan Indonesia.
"Selama 69 tahun itu sudah berlalu dengan banyak perubahan. Kami, memilih menceritakan perubahan-perubahan itu lewat media visual ini," jelasnya.
Pembukaan pameran kemarin menarik perhatian para pengunjung mal. Diantara mereka terlihat mengabadikan gambar yang menurutnya bagus. Bahkan, dibeberapa sudut, ada yang tak segan-segan selfie dengan latar belakang foto kesukaannya.
Sang Kurator, Yusuf Ahmad memilih foto-foto bernuansa nasionalis sebagai foto utama yang dipajang di bagian depan. Terlihat, foto panjat pinang, lomba khas tujuhbelasan, foto seorang kakek ikut pawai dengan seragam merah-putih karya Lia Lestari Lobo. Juga ada foto Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo bersama Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Joko Widodo yang tengah meninjau beras. Warna karung beras itupun lagi-lagi merah-putih.
Salah satu fotografer yang karyanya ikut dipemerkan adalah Abriawan. Ia mengirimkan beberapa foto ke redaksi Antara. Dan ternyata, dua buah fotonya dianggap layak mendapat tempat di pameran itu. Karyanya, foto pembuatan kapal Phinisi di Desa Bonto Bahari turut menyita perhatian. "Saya bangga, apalagi kuratornya Yusuf Ahmad," ujarnya.
Semakin ke belakang, foto-foto itu semakin menarik saja. Semuanya dirangkai begitu serasi dalam urutan kronologis. Dengan mengamatinya dari depan kebelakang, foto-foto itu seakan bercerita tentang Sulsel, budaya, pendidikan, ekonomi dan pariwisatanya. Foto-foto itu mungkin tidak banyak gunanya saat ini. Tapi tahun-tahun berikutnya, foto-foto itu akan menjadi bagian berharga dari sejarah.
Kurator Yusuf Ahmad berujar, setiap detiknya, Sulsel telah mencatat sejarah sebagai sebuah historiografi. Tapi jika divisualisasikan, sesungguhnya sejarah itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu siap dibuka, ditengok, disaksikan untuk pegangan menatap masa depan, kapan pun. (*)
Komentar
Posting Komentar