Perjuangan Anak-Anak Pulau Untuk Tetap Sekolah
M HARIS SYAH
Dermaga Maccini Baji, Pangkep
Siang itu, belasan bocah berseragam putih biru duduk berjejer di sebuah bangku usang. Sesekali gelak tawa keluar dari mulut mereka, menyiratkan semangat, meski telah duduk disana berjam-jam. Mereka adalah siswa-siswi dari pulau Saugi, Sapuli dan Satando yang baru pulang sekolah.
Perahu yang ditunggu tak kunjung datang membuat penulis mencoba menyapa salah satu siswa, Amar Makruf. "Begini memang ji kak, biasanya sore baru ada perahu," ujar siswa kelas 2 SMP ini. Ia berkenan berbagi cerita dengan penulis sambil menunggui perahu di dermaga Maccini Baji.
Amar bersama sekitar 50 siswa lain yang juga tinggal di pulau harus melalui waktu-waktu seperti ini setiap hari selama sekolah. "Kalau tidak ada perahu, terpaksa bermalam di rumah teman, biasa juga bermalam di dermaga, siapa tau ada perahu yang berangkat malam," tuturnya.
Perjuangan saat akan berangkat lagi keesokan hari tidak kalah berat. Amar menuturkan, ia harus bangun jam 3 dini hari jika ingin tiba tepat waktu disekolahnya. "Harus mandi cepat-cepat karena air juga terbatas di pulau, adaji tapi dibeli Rp 1000 per jeriken," jelas Amar.
Selain itu, perahu yang berangkat pagi juga terbatas. Saat fajar belum juga terbit, mereka dengan setia menunggu demi menumpang pada perahu yang akan merapat ke dermaga. Tiap kali menyebrang, mereka harus bayar Rp 5000. Jika terlambat, ia harus mengelus dada tak bisa bersekolah.
Amar melanjutkan, setelah tiba di dermaga, ia harus kembali merogoh kocek Rp 4000 untuk ongkos bentor ke sekolah. Jarak antara dermaga dengan sekolah sekira 10 kilometer. Menempuhnya dengan jalan kaki tentu sangat riskan terlambat bagi Amar.
Satu-satunya yang bisa menghentikan langkah Amar ke sekolah hanya cuaca buruk. Angin kencang dan ombak yang tinggi membuat nyali mereka ciut juga. Jika sudah begitu, menurut Amar para guru biasanya mengerti dan terpaksa mengulang pelajaran keesokan harinya.
Tokoh Masyarakat Labakkang, Burhan Saugi yang turut nongkrong di dermaga Maccini Baji membenarkan perjuangan keras anak-anak pulau ini demi mengenyam pendidikan. Orangtua siswa juga harus mengeluarkan biaya tak kurang dari Rp 25 ribu tiap hari untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Padahal penghasilan mereka yang hampir semuanya berprofesi sebagai nelayan sangat tidak menentu. "Hitung sendiri, beli air jeriken, sewa perahu, ongkos bentor, jajan," kata pria yang akrab disapa Bur ini.
"Sebenarnya pemerintah pernah janjikan buat asrama khusus anak-anak pulau, tapi orangtua menilai itu hanya akan menambah biaya hidup disini. Jadi yang paling perlu sebenarnya kapal, biar kecil ji yang penting awet," jelas Bur seraya mengisap kretek yang dari tadi ia bakar.
Bur berharap, pemerintah bisa memperhatikan kebutuhan mereka. Sebuah kapal fiber, menurut Bur akan sangat membantu meringankan perjuangan siswa sekaligus beban orangtua siswa itu sendiri.
Percakapan penulis dengan Amar dan Pak Bur berakhir ketika kapal yang ditunggu akhirnya tiba. Pekerjaan ekstra yang harus Amar lakoni jika menumpang kapal sewa ini adalah membantu ibu-ibu mengangkat barangnya ke atas kapal. Sekarung beras dengan sigap ia angkat ke atas kapal, disusul barang-barang lain.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore saat Amar mulai menarik tali tambat perahu yang oleng karena kelebihan muatan. Perahu itu perlahan menjauhi dermaga diringi salam perpisahannya yang mengakhiri percakapan kami hari itu. (ris)
Komentar
Posting Komentar