Hasim dan Hamsia, Kisah Dua Bocah Putus Sekolah di Sidrap

* Kayuh Becak Puluhan Kilometer Setiap Hari dari Lancirang ke Pangkajene



Dua becak beriringan, dikayuh pelan oleh betis-betis mungil milik dua bocah. Kaki mereka kumal, tanpa sandal. Keringat bercucuran menantang terik menyusuri jalan raya.

Hamsah dan Hamsia, demikian mereka memperkenalkan diri. Dua bersaudara ini berusia masing-masing 10 dan 9 tahun. Penulis menemui keduanya dijalur Trans Sulawesi, tepatnya di Empagae, Sidrap, Senin 7/1.

Hamsia nampak lebih ramah saat diajak bicara. Rambutnya tergulung keatas, ditutupi topi lusuh. Ia mengenakan celana pendek dan baju bola berwarna pink yang kebesaran, mungkin punya kakaknya.

Mereka mengayuh becak itu dari rumah mereka di Lancirang, menuju Kota Pangkajene. Atap becak itu dilepas agar menampung muatan lebih banyak. Ada lima karung berisi plastik dan kardus bekas dijejal diatasnya.

"Buat dijual (ke pengepul, red) kak. Bantu orangtua," kata Hamsia terbata-bata. Dalam sehari mereka bisa dua kali bolak-balik Lancirang-Pangkajene.

Plastik dan kardus bekas itu dikumpulkan orangtuanya, Basri dan Mega. Satu karung dijual ke pengepul, dihargai tiga atau empat lembar uang pecahan dua ribuan.

Namun harga semurah itu rasa-rasanya tidak sebanding dengan jarak yang mesti mereka tempuh. Lancirang ke Pangkajene tentu tidak dekat. 17 kilometer, jika dengan becak bermuatan berat, butuh paling tidak 2-3 jam untuk sampai.

Namun itu telah menjadi rutinitas kakak beradik ini. Beberapa warga mengaku kerap melihat bocah-bocah itu melintas, hampir setiap hari.

Tentu tidak ada orantua yang tega melihat anaknya bekerja sedemikian keras, jika tidak karena terpaksa. Asumsi penulis, kondisi ekonomi keluarga Hamsa dan Hamsiah tak seberuntung orang kebanyakan. Cukup miris, ditengah label Sidrap sebagai lumbung pangan dan berstatus daerah dengan angka kemiskinan terendah se-Sulsel.

Semakin ironis, keduanya menggeleng pelan saat penulis menanyakan sekolahnya dimana. Mereka mengaku telah beberapa waktu tak pernah lagi mengenakan seragam putih-merah. Terakhir, mereka bersekolah di SDN 9 Lancirang.

Meski harus ikut membantu keluarganya mencari nafkah, mereka masih menyimpan asa untuk bisa masuk kelas. Paling tidak, kata bocah itu, mereka ingin sekolah pada pagi hingga siang. Lalu sorenya bisa tetap membantu orangtua, mengayuh becak, mengantar berkarung-karung plastik itu ke kota. (*)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)