Jangan Menerima Tamu Orang Syiah, Nanti Urusannya Bakal Panjang....



Tentu judul tersebut hanya sekadar satire. Ini harus saya sampaikan lebih awal, karena penafsiran yang mungkin macam-macam. Nanti malah urusannya panjang, eh...

Beberapa hari belakangan, dunia akademik dihebohkan dengan pernyataan Rektor UIN Alauddin Prof. Musafir Pababari.

“Jangankan Syiah, komunis pun saya terima di UIN Alauddin. Dan sudah berapa yang datang di UIN, yang humanis, yang komunis, yang tidak ada masalah sama saya. Saya terima semua,” demikian dikutip sejumlah media.

Pernyataan itu disampaikan Rektor saat berdialog dengan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Indonesia Timur, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) Sulawesi Selatan, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muslim Makassar, Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI), dan Forum Arimatea Sulsel, di ruang kerjanya di kampus II UIN, Samata, Kabupaten Gowa, pada Rabu (27/12/2017). Mereka mengkritisi kedatangan Ghasem Muhammadi dan Ebrahim Zargar, pengajar dari Al Mustafa International University of Iran, yang menjadi pembicara di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin.

Prokontra terjadi, diekspresikan lewat pelbagai cara. Ada yang menganggap, sikap rektor tersebut membuat ajaran Syiah rentan menyebar secara leluasa di UIN Alauddin. Namun tidak sedikit kalangan yang menegaskan, bahwa kampus sebagai laboratorium pengetahuan, memang harus terbuka terhadap segala jenis paham dan pemikiran.

Lebih dari itu, sebagai praktisi media, yang saya sesalkan karena beberapa -jika tidak mau disebut banyak- situs-situs/website berlabel anu mengutip mentah-mentah pernyataan itu. Dicopy-paste dan diolah semaunya, sehingga menjurus justifikasi. Bahkan saat rektor telah memberikan klarifikasinya, ada yang tetap tidak memuat dan mencantumkan klarifikasi tersebut. Pun jika dimuat, isinya sama. Justifikasi. Sangat jauh dari pedoman pemberitaan media siber dan kode etik jurnalistik.

Terkait hal itu, saya teringat medio 2015. Saat itu saya sedang berada di UNM untuk satu urusan. Duhur tiba, saya beranjak ke musalah di menara Pinisi. Ternyata disana sedang ada seorang mullah (ulama) asal Iran, bertamu di UNM. Sayang sekali namanya saya betul-betul lupa. Yang saya ingat, ulama itu bertitel doktor. Wajahnya terlihat cerah, walau dengan kumis, janggut dan cambang .

Sebagaimana ulama Iran pada umumnya, ia memakai qaba' -pakaian panjang mirip gamis, berwarna gelap-.  Ia sempat ikut salat duhur berjamaah, bersama beberapa petinggi UNM. Saya tidak memperhatikan, apakah ia salat dengan tata cara salat Sunni atau Syiah.

Usai salat, lalu dilanjutkan dengan diskusi ringan. Hadir Rektor UNM kala itu, Prof Arismunandar dan sejumlah pejabat rektorat. Tentu saja diskusi dibantu penerjemah.

Yang menarik, Prof Arismunandar sempat mengutarakan kekagumannya pada Iran. Ia bertanya pada si Mullah, apa yang membuat Iran tidak takut sama AS. Justru, Iran semakin berkembang saat kena embargo, dan menjadi negara yang disegani dunia.

Diantara jawaban si Mullah, adalah karena kekuatan militer Iran. "Apa yang anda lihat di media, hanyalah sedikit saja dari kekuatan Iran sesungguhnya," demikian katanya. Namun si Mullah menekankan, yang paling penting dari kokohnya Iran adalah keseriusan mereka dalam hal pendidikan. Di Iran, kata si Mullah, ruang-ruang pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang mendapat porsi perhatian yang paling tinggi.

Saat itu gelombang penyesatan terhadap kelompok Syiah di Indonesia -meski sudah banyak-, belum demikian massive seperti sekarang. Yang saya bayangkan, jika kedatangan mullah Iran di UNM tersebut, terjadi dimasa sekarang. Kira-kira apa yang bakal 'dituduhkan' kepada rektor UNM ?

Kita boleh tak sepaham dan berbeda pandangan soal ini. Namun bagi saya, ada tiga pokok penting yang saya perhatikan.

Pertama, bagaimana sejumlah situs yang seolah-olah media mengolah isu ajaran Syaih di UIN menjadi sedemikian seksi, meski melabrak banyak kode etik dan pedoman pemberitaan.

Kedua, kampus saya anggap sebagai ruang dimana tak ada sesuatu yang tabu untuk dipelajari. Termasuk ajaran Syiah. Dulu, saya berteman dengan beberapa mahasiswa yang bermahzab Syiah. Sekarang pun masih berkawan dengan beberapa orang yang saya duga Syiah. Dan keseharian mereka yang dianggap sesat itu, sama sekali tidak nampak hal-hal yang selama ini dituduhkan, meski beberapa perbedaan yang tidak prinsipil bisa saya dapati.

Terakhir yang ketiga, mengapa telinga dan mata kita akhir-akhir sangat sensitif untuk isu-isu semacam ini ? Saya punya jawabannya. Kita bahas lain waktu ya... (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)