Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

Rappang Masih Sejuk (Ditengah Gempuran Wahabisme)

Gambar
Alhamdulillah subuh ini menyimak suyup ceramah dari mesjid dekat rumah di Rappang. Ustaznya meminta jamaah agar tidak gampang mem-bid'ah-kan amalan-amalan yang selama ini dipraktekkan orangtua terdahulu. Salahsatunya yang ia bahas adalah kurban. Idul Adha sebentar lagi. Beliau menjelaskan adat kebiasaan masyarakat berkurban (makkaroba) untuk orangtua yang telah wafat. Ustaz juga mengutip referensi dari ulama-ulama sejuk seperti Gurutta Pabbaja, Kali Sidenreng, dll. Sungguh kita harus banyak bersyukur, karena ulama terdahulu punya kedalaman ilmu yang luar biasa, dan dibarengi adab yang luhur. Penampilan mereka biasa-biasa saja. Tak perlu ke-Arab-arab-an. Sangat Bugis. Mereka juga tidak perlu memakai nama abu ini atau abu itu. Sangat-sangat Bugis. Lewat referensi ulama sekaliber mereka, penceramah kita subuh tadi memberi jalan tengah. Dengan cara berkurban atas nama si anak, namun pahalanya diniatkan kepada orangtua. "Apakah pahalanya sampai? Insya Allah sam

Teh Melati dan Kekasih Hatiku

Gambar
Penulis: M Haris Syah (Temannya Mario Matutu) Saya sesungguhnya bukan penikmat novel. Diantara koleksi buku di lemari yang kakinya lapuk gegera banjir, hanya ada beberapa, itupun jarang kusentuh. Pun saya juga bukan penulis apalagi sastrawan. Antologi feature dan catatan-catatan di Facebook yang rencananya menjadi buku, terbentur biaya cetak dan hanya sebatas file di hardisk. Tapi keinginan untuk mewujudkan buku itu kembali membuncah setelah membaca 'Kekasih Hatiku'. Kak  Amiruddin Aliah  menegaskan, dalam keterbatasan apapun karya harus tetap lahir. Dan tak sekadar jadi. Belum setengahnya, 'Kekasih Hatiku' sudah membuat saya betah berlama-lama membaca. Hal yang akhir-akhir ini semakin jarang kulakukan. Buku ini serupa class mild dan kopi di tangga lantai 4 Graha Pena. Anak-anak redaksi FAJAR pasti tau. Maccandu kata orang Bugis. Mario Matutu meramu kisah Arung dan Annie dengan cerdik, kisah yang melankolis-romantis. Perjuangan dan tekad Arung menjadikan

Susu Saset dan si Bungsu yang Sering Diare

Gambar
Ibu dekil nan kurus ini bernama Nurlina. Warga Minrolang'nge, Kelurahan Bumi Harapan, Bacukiki Barat, Kota Parepare. Jalanan tak beraspal menuju rumahnya, sudah cukup menggambarkan bahwa mereka tidak terpantau angka-angka mistik prestasi berderet kota ini. Saat saya datang (2016), ibu lima anak ini sedang mengupas mangga yang dia pungut didalam hutan. Dia jadikan asam untuk dijual. "lumayan, buat beli susu si kecil," katanya, sembari menyeka keringat. Si kecil yang dia maksud tentu bayinya, anak paling buntut, saya perkirakan usianya belum tiga tahun. Susu, dibeli dari hasil jualan mangga?  "Bukan susu bayi nak, susu saset ji kasian dia minum, seribuan. Mana ada uang beli susu bayi," Senyumnya menyembunyikan getir. Bayinya sering diare gegara minum susu yang sama sekali bukan untuk bayi seusianya. Anak yang paling tua tidak lebih beruntung. Dia belum pulang sekolah saat saya disana. Si ibu bilang, sulungnya punya pekerjaan ekstra saat bersekolah. Di

Jawara Catur yang Tak Lagi Dipedulikan

Gambar
Namanya Abdullah Amir, mantan atlet catur yang kini lumpuh tidak berdaya. Kota Parepare sempat dia harumkan namanya saat gelar juara se-Sulsel dia rebut. 20 tahun dia jadi atlet andalan kota bertagline Peduli itu. Bukan waktu yang sebentar. Kami 'menemukannya' Juni 2016 silam. Sebuah piagam penghargaan berbingkai murahan, bertandatangan walikota menjadi bukti sahih kehebatannya dalam strategi catur. Piagam itu tergantung berdebu di dinding kontrakannya yang kumuh. Kini, nasib Abdullah tidak lebih baik dari piagamnya. Usang, kotor, tidak dipedulikan. Waktu kami berkunjung, piagam itu ia pegang erat-erat. Pada satu malam di bulan Ramadan, kami menemani adik-adik dari HMI Komisariat PGSD Parepare mengunjungi pak Abdullah. Seorang dermawan yang baik hati menitipkan sepaket sedekahnya. Pertemuan kembali dengan pak Abdullah berlangsung akrab. Meski kami hanya melantai, karena di kontarannya itu tak cukup kursi untuk kami yang datang 5-6 orang. Pak Abdullah dengan senang

Logika Sesat dan Standar Ganda (Sebagian) Legislator Kita

Gambar
Penulis : M Haris Syah (pengajar, pemerhati Parepare) Beberapa media merilis berita tentang estimasi anggaran baju dan pin emas DPRD Parepare yang terbilang wah. Totalnya nyaris tembus Rp400 juta. Tepatnya Rp398 juta. Angka ini menimbulkan perdebatan beberapa hari belakangan. Grup-grup WA, facebook dan diskusi-diskusi warkop ramai mengulasnya. Adik-adik mahasiswa di BEM Umpar ikut bereaksi, juga di Kampus V UNM. Mereka menuntut transparansi. Komunitas Peduli Parepare yang dimotori Ustaz  Ibrah la Iman  melakukan aksi protes yang sarkastik. Mengumpulkan receh untuk menutupi Rp398 juta ini. Lalu sebagaimana biasanya, ketika ada polemik berkepanjangan, selalu ada media lain yang dengan hati riang mengklarifikasi. Meski tidak pernah memberitakan polemik sebelumnya sebagaimana etika jurnalistik. Di Parepare kita sudah biasa disuguhi hal memalukan semacam ini. Berulang-ulang. Diulaslah rincian anggaran itu, tentu tanpa perbandingan harga yang komprehensif. Kita hanya disuguh

Membangun Budaya Diskusi yang Dinamis

Gambar
“…Bantahlah orang muda dengan perdebatan, orang dewasa dengan pemikiran, dan orang tua dengan diam…” Itu salah satu petuah dari sekian banyak kristal pemikiran dan kefasihan Imam Ali bin Abi Thalib. Salah satu yang saya teladani. Imam Ali memberikan panduan dalam membangun budaya diskusi yang dinamis. Jadi jangan heran, jika dengan yunior-yunior saya di kampus, kerap saya jejali dengan kritik yg keras dan bantahan yang mungkin kurang logis. Akal kadang beradu dengan emosi. Saya senang memancing perdebatan dengan dan diantara mereka. Budaya ini memang harus ditanamkan sejak dini, lantaran efektif membangun kebiasaan berfikir kritis dan argumentatif. Kepada kawan sebaya, rekan kerja, teman se-komunitas, saya senang sekali berdiskusi. Utamanya jika orang itu rasional dan berfikiran terbuka. Saya mengenal orang-orang seperti ustaz Ibrah la Iman, Saiful Bahrie, dan lainnya. Mereka yang saat berdiskusi, akal bertemu dengan akal. Ngopi bersama teman-teman, saya isi dengan disku