Membangun Budaya Diskusi yang Dinamis
“…Bantahlah orang muda dengan perdebatan, orang dewasa dengan pemikiran, dan orang tua dengan diam…”
Itu salah satu petuah dari sekian banyak kristal pemikiran dan kefasihan Imam Ali bin Abi Thalib. Salah satu yang saya teladani. Imam Ali memberikan panduan dalam membangun budaya diskusi yang dinamis.
Jadi jangan heran, jika dengan yunior-yunior saya di kampus, kerap saya jejali dengan kritik yg keras dan bantahan yang mungkin kurang logis. Akal kadang beradu dengan emosi.
Saya senang memancing perdebatan dengan dan diantara mereka. Budaya ini memang harus ditanamkan sejak dini, lantaran efektif membangun kebiasaan berfikir kritis dan argumentatif.
Kepada kawan sebaya, rekan kerja, teman se-komunitas, saya senang sekali berdiskusi. Utamanya jika orang itu rasional dan berfikiran terbuka. Saya mengenal orang-orang seperti ustaz Ibrah la Iman, Saiful Bahrie, dan lainnya.
Mereka yang saat berdiskusi, akal bertemu dengan akal. Ngopi bersama teman-teman, saya isi dengan diskusi berbobot. Soal perkembangan Pilpres dan pengaruhnya terhadap banyak hal.
Saya baru banyak bercanda kalau ngumpul bareng teman-teman kuliah dulu. Terutama gerombolan alumni HI. HI ini adalah komunitas dimana kami sama-sama dimatangkan secara ideologis. Mungkin buat sebagian besar kami, sudah kenyang diskusi berat semasa kuliah. Jadinya kalau ketemu, kebanyakan sicalla.
Dilain kesempatan, anda bisa menemukan saya manggut-manggut dan menurut dihadapan orangtua, sepuh, para guru dan siapa saja yang saya anggap jauh lebih senior.
Ini bukan penafsiran pasal legendaris ‘senior tak pernah salah’. Bukan. Saya memegang prinsip, adab jauh lebih penting daripada ilmu.
Maka dari itu, saya mahfum jika yunior-yunior saya menganggap saya provokator (dalam artian positif ), teman sebaya mungkin melihat saya liberalis, sementara para guru melihat saya sebagai murid yang manis
Demikianlah kura kura… (*)
Komentar
Posting Komentar