Rappang Masih Sejuk (Ditengah Gempuran Wahabisme)
Alhamdulillah subuh ini menyimak suyup ceramah dari mesjid dekat rumah di Rappang. Ustaznya meminta jamaah agar tidak gampang mem-bid'ah-kan amalan-amalan yang selama ini dipraktekkan orangtua terdahulu.
Salahsatunya yang ia bahas adalah kurban. Idul Adha sebentar lagi. Beliau menjelaskan adat kebiasaan masyarakat berkurban (makkaroba) untuk orangtua yang telah wafat.
Ustaz juga mengutip referensi dari ulama-ulama sejuk seperti Gurutta Pabbaja, Kali Sidenreng, dll. Sungguh kita harus banyak bersyukur, karena ulama terdahulu punya kedalaman ilmu yang luar biasa, dan dibarengi adab yang luhur. Penampilan mereka biasa-biasa saja. Tak perlu ke-Arab-arab-an. Sangat Bugis. Mereka juga tidak perlu memakai nama abu ini atau abu itu. Sangat-sangat Bugis.
Lewat referensi ulama sekaliber mereka, penceramah kita subuh tadi memberi jalan tengah. Dengan cara berkurban atas nama si anak, namun pahalanya diniatkan kepada orangtua.
"Apakah pahalanya sampai? Insya Allah sampai!" kata ustaz bermonolog dengan dirinya. Ustaz kembali mengutip kisah Rasulullah tercinta, yang suatu waktu berkurban untuk keluarganya dan ummat-nya (baik yang masih hidup maupun yang telah wafat).
Saya bahagia, karena ditengah gencarnya gempuran ajaran Wahabisme dan doktrin purifikasi Islam, ustaz kita ini memilih mencerahkan jamaah. Menghindari provokasi yang bisa membuat jamaah saling membid'ahkan bahkan ujungnya bisa sampai mengkafirkan sesama saudara muslim maupun non-muslim.
Saya senang karena kampung halaman saya masih sejuk. Belum (dan semoga tidak pernah) ada didengar tindakan-tindakan intoleran seperti mensesatkan sesama, membubarkan acara adat, atau hal-hal konyol seperti kewajiban memakai busana muslim di SD Negeri (padahal yg mereka maksud busana muslim, justru baju Koko yang sejatinya busana Cina :D )
Komentar
Posting Komentar