Teh Melati dan Kekasih Hatiku


Penulis: M Haris Syah (Temannya Mario Matutu)

Saya sesungguhnya bukan penikmat novel. Diantara koleksi buku di lemari yang kakinya lapuk gegera banjir, hanya ada beberapa, itupun jarang kusentuh.
Pun saya juga bukan penulis apalagi sastrawan. Antologi feature dan catatan-catatan di Facebook yang rencananya menjadi buku, terbentur biaya cetak dan hanya sebatas file di hardisk.
Tapi keinginan untuk mewujudkan buku itu kembali membuncah setelah membaca 'Kekasih Hatiku'. Kak Amiruddin Aliah menegaskan, dalam keterbatasan apapun karya harus tetap lahir.
Dan tak sekadar jadi. Belum setengahnya, 'Kekasih Hatiku' sudah membuat saya betah berlama-lama membaca. Hal yang akhir-akhir ini semakin jarang kulakukan. Buku ini serupa class mild dan kopi di tangga lantai 4 Graha Pena. Anak-anak redaksi FAJAR pasti tau. Maccandu kata orang Bugis.
Mario Matutu meramu kisah Arung dan Annie dengan cerdik, kisah yang melankolis-romantis. Perjuangan dan tekad Arung menjadikan Annie sebagai istri, cocok jadi inspirasi pejuang uang panai Mulyadi Ma'ruf atau Suarno Yunus dkk.
Saya membaca 'Kekasih Hatiku' sambil menikmati seduhan teh melati Ariyanti Aris. Saya kadang heran bagaimana teh senikmat itu bisa tersaji di meja, disela kerepotannya bersama Hasan-Husain. 
Kepadanya, ingin kuucapkan kata-kata Arung kepada Annie dihalaman 327, 'Terima kasih sudah menjadi istriku." Saya juga akan berusaha seromantis Arung, tapi jangan banyak berharap kugombal dengan kalimat puitis. Saya bukan Dilan. 
Kepada Kak Amir, saya tidak mahir menulis kalimat penyemangat. Klise. Buku ini sahih jadi bukti kehebatan ta, melengkapi kisah-kisah legendaris yang sering kudengar di ruang redaksi. Sering dikutip senior saat memotivasi wartawan muda. Kak Amir bilang itu hoax.
Saya setia menunggu karya selanjutnya kak...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)