Pentingnya Pendidikan Anti Radikalisme-Terorisme
M Haris Syah (Pengajar, Mahasiswa Manejemen Pendidikan UNIAT)
Bom Katedral Makasssar ditanggapi banyak pihak. Berita dan pernyataan sikap berseliweran dimana-mana. Tokoh anu mengutuk, organisasi anu juga mengutuk. Setiap kali teror terjadi sejak tahun 2000 (bom BEJ), kutukan lancar betul.
Apa kutukan kita selama ini mampu menghentikan teroris?. Rasanya, kutukan terakhir yang sukses sepertinya cuma kutukan Mande Rubayah ke anaknya, Malin Kundang. Itupun konon fiksi.
Memberantas terorisme memang bukan perkara mudah. Pemerintah tentu bukan tanpa usaha. Kontra wacana digencarkan, ada BNPT, ada Densus 88. Tetapi sudah 20 tahun (dan berkembang pesat beberapa tahun belakangan ini) intoleransi, radikalisme dan terorisme menggerogoti tanah air. Itu waktu yang terlalu lama. Sangat cukup untuk menginfiltrasi, beranak pinak, dan menyebar ke pelbagai sektor. Termasuk pendidikan.
Secara umum, bibit terorisme dapat muncul dari generasi yang tidak terbiasa dengan perbedaan. Ia menolak keberagaman. Dan mengangggap hanya dirinya dan pemahamannya yang benar. Karakter intoleran ini mengantarkannya menjadi pribadi yang radikal. Dengan sedikit polesan, jadilah teroris. Ali Imron, terpidana Bom Bali bilang, cukup 2 jam untuk mendoktrin orang seperti ini hingga siap bunuh diri. (lihat; https://www.facebook.com/panritainstitute/videos/190197752682423/)
Jadi sesungguhnya, terorisme itu tidak dimulai sejak teroris mulai belajar bikin bom. Tetapi jauh sebelumnya, bibit terorisme dimulai saat anak-anak akrab dengan kebencian dan permusuhan
Melihat bahayanya terorisme ini, pendidikan dengan muatan persatuan, toleransi, dan keragaman menjadi semakin penting. Namun sayang, di pelbagai jenjang pendidikan muatan ini rasanya masih belum cukup. Butuh kejelian untuk menyisipkan lebih banyak nilai-nilai toleransi pada pembelajaran.
Ini coba kami lakukan hari ini. Pelajaran anak-anak masuk ke Tema 8 Bumiku, subtema 3. Ada materi tentang poster, reklame, brosur dan semacamnya. Semestinya, tugas mereka adalah membuat poster yang berkaitan dengan lingkungan.
Tapi saya yakin semalam mereka sudah nonton berita. Maka hari ini, tugas membuat poster lingkungan saya ganti menjadi poster tentang toleransi. Hasilnya sederhana saja, seperti foto-foto dibawah ini. Selasa besok, masing-masing akan menjelaskan makna posternya lewat video call. Begitulah kira-kira sedikit upaya mengakrabkan mereka dengan sikap toleran.
Ada puluhan jurnal yang membahas model pendidikan anti radikalisme-terorisme ini. Mas Menteri sebaiknya mulai merumuskan kembali hal ini agar lebih intens lagi. Fasilitasi lembaga riset dan universitas melakukan penelitian mendalam untuk membongkar problem terorisme dan cara mengatasinya.
Perkuat wacana keindonesiaan, keberagaman, pluralisme dan cinta tanah air di seluruh jenjang pendidikan. Negara juga harus tegas pada pendidik yang berpaham intoleran. Juga pada pejabat-pejabat di institusi pendidikan yang kerap menelurkan kebijakan konyol berbau intoleransi.
Jika tidak, alih-alih menjadi benteng, lembaga pendidikan justru jadi tempat menyemai bibit-bibit teroris ini. (baca; https://www.kompas.tv/.../pengamat-pesantren-jadi-tempat...)
Memberantas terorisme tak pernah cukup hanya dengan kutak kutuk setelah kejadian. Model pendidikan yang tepat harus dieksekusi segera, agar anak-anak kita tidak menjadi teroris di masa depan.
Malala Yousafzai, peraih nobel perdamaian pernah bilang 'With guns you can kill terrorists. With education you can kill terrorism'.
Tabe'.
Komentar
Posting Komentar