Songko Cella'e dan Beberapa Kisah
Pilkada Parepare 2018 lalu menyisakan banyak kisah. Saya diajak bergabung sebagai tim media, mendampingi Faisal Andi Sapada dan Asriady Samad (FAS). Saya mengikuti hampir seluruh kegiatannya.
Selama lebih kurang tiga bulan masa kampanye, saya cukup sibuk. Sehingga hanya sebagian kecil kisah-kisah perjalanan Songko Cella'e -sapaan populer Faisal Andi Sapada- yang sempat saya tulis. Sebagian besar lainnya luput terekam. Satu bagian telah terbit di Perspektif dengan judul 'The People Champion'.
Beruntung, fitur kenangan Facebook mengingatkan beberapa kisah lain. Berikut diantaranya;
Air mata
Bagi orang-orang yang sudah kenyang merasakan pahit-getir kehidupan, meneteskan air mata rasanya sesuatu yang sulit. Ia telah ditempa banyak hal. Saking banyaknya, hanya tersisa sedikit hal yang bisa membuatnya menangis.
Itulah yang kira-kira terjadi pada Pak Alimin. Penjual ikan yang saya tebak usianya sudah diatas 60-an itu, berurai air mata saat merangkul idolanya, Faisal Andi Sapada. FAS mengunjungi lapak penjual ikan di Lakessi, Jumat lalu.
Tak ada yang menyangka pria bersahaja itu menangis. Blusukan FAS berlangsung seperti biasa. Ia dan puluhan penjual ikan lain bersalaman, berangkulan dan berfoto bersama FAS. Sejurus kemudian, diam-diam pak Alimin menyingkir. Mengambil tempat agak jauh dari kerumunan. Berlindung dibalik dinding lapak, matanya sudah berkaca-kaca.
Seorang kawan sesama penjual ikan sempat melihat pak Alimin menyingkir. Ia membisik FAS. "Terri wi kasi', metta memeng'ni tuli na rampe ki puang. Nappatta si siruntu," ucap kawannya.
FAS tanpa kata. Ia mengangkat tangan memanggil pak Alimin. Pria yang ternyata ketua RW itu beringsut mendekat. Topi merah yang dipakai FAS seharian, kini berpindah di kepala pak Alimin. Air matanya semakin menjadi.
Apa arti tangisan itu?, hanya pak Alimin dan tuhan yang tau, juga mungkin FAS. Saya teringat kata Voltaire, 'Air mata adalah kata-kata yang hati dan lidah kita tak dapat mengungkapkannya lagi,' (*)
Pelukan Asape
Dia bernama Asape'. Kira-kira begitu. Saya tidak mendengar jelas suaranya yang parau ditengah hiruk pikuk warga. Kerut diwajahnya menunjukkan usianya tak lagi muda. Badannya agak bungkuk. Dia memakai baju yang sepertinya hadiah sabun.
Asape' tidak menyangka FAS akan menghampirinya sore tadi. Saya menghitung, dia bahkan empat kali memeluk FAS. Pelukan pertama, kedua dan ketiga dia masih tersenyum, tetapi senyumnya getir. Tangannya tetap berada dipundak FAS. FAS juga tak melepas rangkulannya, mungkin tau jika bapak ini ingin menyampaikan sesuatu.
Pada pelukannya yang keempat, dia menangis mengadu.
Diantara ratusan warga, mungkin dialah yang paling lama berbicara dengan FAS. Apa yang ia adukan, biarlah menjadi urusan mereka berdua..
Saya hanya meyakini, jika seorang pemimpin bersedia berlama-lama mendengarkan masalah rakyat kecil, maka hal hal baik akan menghampiri daerah itu. Percayalah.
5 Tahun Massongko Cella
Pada kampanye blusukan di Ujung Lare, FAS sempat dicegat oleh salah satu warga, Hanafi. Ia menunjukkan kopiah merah khas FAS (Songko Cella’) miliknya. Kopiah itu nampak sudah lusuh. “Ini sudah saya pakai 5 tahun, waktu itu FAS yang kasih saat masih Sekda,” kata Hanafi.
Dia menuturkan, telah menjadi pendukung fanatik FAS sejak diberi kopiah merah. Dirinya merasa bangga diberi langsung oleh FAS, sehingga kopiah tersebut hanya ia pakai di momen-momen penting. Menurutnya, songkok itu adalah simbol kehormatan dan perjuangan bertahun-tahun.
“Ini bukan sekadar songkok. Meski sederhana dan nilainya tidak seberapa, tetapi kehormatan didalamnya membuat kita bangga pakai songkok ini,” tegas Hanafi.
Sebagai bentuk apresiasi, FAS menghadiahkan topi merah yang ia pakai kepada Hanafi. Ia bahkan memakaikan songkok itu di kepala Hanafi. (*)
Parepare, 26 Agustus 2018
Komentar
Posting Komentar