Sayyid Jamaluddin, Arsitektur dan Ajaran Tarekat (Bag.4-Selesai)
Jejak Sayyid Jamaluddin juga bisa ditemukan di Pinrang, tepatnya di Ujung Lero, kecamatan Suppa. Salah seorang keturunannya yang berdakwah hingga Lero, bernama Sayyid Hasan Sahil mendirikan Mesjid Al-Muhajirin dengan gaya arsitektur khas Persia. Kebanyakan orang mengetahui keunikan mesjid itu yang dibangun dengan 25 kubah, berdiri kokoh diatas bangunan tanpa sepotong-pun besi. Namun sangat jarang yang tau jika gayanya terinspirasi dari Persia.
M HARIS SYAH
Ujung Lero-Polman
Yusuf membeberkan, Sayyid Hasan adalah anak dari Sayyid Alwi salah satu murid dari Sayyid Jalaluddin. Dari Sayyid Alwi pula ulama terkenal asal Mandar, Imam Lapeo berguru. Putra Sayyid Hasan, Abdullah lalu meneruskan dakwah hingga imam mesjid Muhajirin diambil alih oleh dirinya hingga saat ini. "Pam Sahil memang sangat jarang diketahui, mungkin karena sejarah tidak pernah mencatat kakek kami sebagai penyebar Islam," kata dia.
Yusuf menyebut, kakeknya itu pertama kali berdakwah di Pambusuang, salah satu daerah di tanah Mandar. Disana, dia juga berguru pada Sayyid Al Adiy, salah satu cucu dari Maulana Malik Ibrahim (sesepuh walisongo), anak sulung Sayyid Jamaluddin (Tosora). Makam Sayyid Al Adiy kini berada di masjid tertua di Mandar, Masjid Lambanang, (sekira 40km dari Polewali). Makam itu bertulis tahun 1608, lagi-lagi lebih dahulu dibanding kedatangan tiga datuk.
Peneliti Unhas Supratman Athana menambahkan, pengaruh arsitektur juga terlihat pada sejumlah mesjid yang dibangun murid-murid Sayyid Jamaluddin disepanjang Sulsel. Mesjid zaman dahulu, selalu memiliki karakteristik yang sama. Dua pintu yang melambangkan Alquran dan keluarga nabi. Serta 12 tiang, 12 jendela, bahkan 12 pancuran air. Angka 12 merujuk pada ramalan 12 pemimpin yang datang setelah nabi.
"Dulu ini bisa dilihat dari bangunan Mesjid Raya tempo dulu, serta mesjid tua lainnya yang sezaman. Sejarawan biasanya menganggap ini (arsitektur,red) adalah pengaruh Jawa. Namun faktanya, mesjid kuno di Jawa didirikan oleh para walisongo yang notabene murid Sayyid Jamaluddin," beber Supratman.
* Ajaran Tarekat dan Minimnya Referensi
Bergeser ke Tanah Mandar, sejarawan asal Mandar, Syahruddin menyebutkan pada tahun-tahun itu penyebaran Islam di Ujung Lero hingga Mandar pesat. Tidak butuh waktu lama untuk menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya warga. "Salah satu strateginya, adalah memperlihatkan hal gaib bagi orang-orang yang meragukan Islam. Itulah sebabnya, hampir semua penyebar Islam di awal-awal penyebaran (hingga tahun 60-an) adalah orang-orang berbasis tarekat. Bahkan, ordo tarekat terbesar di Sulsel, Khalwatiyah juga kental dengan ajaran yang dibawa oleh Sayyid Jamaluddin dan murid-muridnya," katanya.
Imam Lapeo termasuk salah satunya, ulama legendaris bernama asli K. H. Muhammad Tahir itu juga kental dengan kisah gaib nan keramat. Salah satu yang dipercaya kebenarannya adalah kisah yang sama dengan kemampuan seperguruannya, Sayyid Hasan di Ujung Lero, yakni menghentikan ombak besar (tsunami) yang pernah mengancam pesisir Sulawesi.
Syaharuddin melanjutkan, karena banyak berbasis tarekat, para penyebar Islam generasi pertama beserta murid-muridnya itu lebih condong berdakwah dikalangan akar rumput. Berbeda dengan penyebar Islam generasi selanjutnya, nalar keislaman yang dikembangkan melahirkan praktik keagamaan yang formal dan “tidak ramah” pada budaya setempat. "Ini yang membuat aliran tarekat lambat laun menghilang. Sekaligus membuat mereka tidak tercatat sejarah" ujarnya.
Kesulitan lainnya untuk mendeteksi penyebar Islam generasi pertama ini adalah masalah referensi dan sumber. Budayawan Andi Rahmat Munawar mengeluhkan minimnya referensi yang 'netral' dalam meneliti hal itu. "Referensi yang banyak saat ini adalah perspektif kerajaan, sumber kita kebanyakan dari sumber sejarah politik kerajaan. Selain itu sumber tutur person sangat minim karena kita berbicara lima hingga tujuh generasi kebelakang. Apalagi, ulama generasi pertama itu datang bahkan saat kerajaan belum berdiri," bebernya.
Demikianlah, penyebaran Islam di Sulsel hingga tanah Mandar di Sulbar sesungguhnya tidaklah tunggal dan disebar oleh satu generasi ulama saja. Melainkan dilakukan bertahap (meski tidak terorganisir) lewat ulama generasi pertama yang banyak berasal dari Persia, hingga kedatangan para pedagang serta pendakwah dari Arab, Gujarat, Hadramaut, hingga teori terbaru, dari muslim Cina.
Pun demikian, meski Sayyid Jamaluddin tidak pernah bersentuhan langsung dengan daerah seperti Maros, Takalar, Parepare, Ujung Lero hingga Tanah Mandar, namun pengaruhnya kian terasa. Murid-muridnya berhasil mendakwahkan Islam dengan karakteristiknya masing-masing. Namun satu yang pasti, mereka sukses melakukan asimilasi budaya dengan efektif dan humanis hingga mentradisi, bahkan tanpa kita sadari. (*)
Komentar
Posting Komentar