Sayyid Jamaluddin, Berjejak di Maudu Lompa hingga Tradisi Asyura (Bag.3)
Budaya lokal Sulsel dari ujung ke ujung sangat kental dengan pengaruh kehadiran ulama generasi pertama. Setelah nenek moyang kita mengucapkan syahadatain, tradisi mereka-pun lambat laun berubah.
M HARIS SYAH
Maros-Parepare
Salah satu yang bertahan hingga kini adalah perayaan maulid khas Cikoang, Takalar dan Tanralili, Maros. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad dikedua daerah -yang cukup berjauhan- itu kerap disebut maudu lompoa dan maulid perahu. Mengapa perahu? apa hubungannya dengan ajaran Islam?
Maulid perahu di Tanralili rutin digelar di Desa Damai. Sekira 500 perahu berlayar, berjejer ditancapkan ditanah lapang dan dijejali pelbagai jenis benda. Bukan hanya makanan, tetapi juga barang kebutuhan sehari-hari. Namun yang menarik, teka-teki mengapa perahu digunakan dalam maulid. Padahal Desa Damai sama sekali tidak punya korelasi dengan perahu, jika ditarik dari pesisir, jarak desa itu bisa sampai 35-40 km.
"Warga juga tidak satupun yang berprofesi sebagai nelayan, laut jauh, danau tidak ada, sungai-pun bukan perahu jenis seperti ini (berlayar) yang dipakai," kata salah satu warga Desa Damai, Dg Ngempo yang telah bertahun-tahun ikut maudu lompoa
Camat Tanralili, Rais Noval menyebut tradisi itu telah dilaksanakan sejak ratusan tahun lalu. Tahun 1600-an, salah seorang murid Sayyid Jalaluddin yang telah lebih dahulu tiba di Takalar, merantau hingga ke Tanralili. Meski namanya hilang akibat sumber tutur yang makin sedikit, dialah diketahui yang berinisiatif memulai tradisi tersebut. Sayyid Jalaluddin sendiri, memulai tradisi yang sama di Cikoang.
Menurut Peneliti Unhas Supratman, maulid perahu di Cikoang telah dimulai sejak 8 Rabiul Awal, 1041 H, atau 1620 m. Maulid ini terdiri dari dua tahap. Pertama, Maudu Caddi, di mana setiap rumah tangga membuat Kanre Maudu dirumah warga sendiri, dan kedua sebagai Maudu Lompoa, hidangan ritual dimana Kanre Maudu disiapkan oleh setiap rumah tangga dari klan al-Aidid berkumpul di tepi muara Sungai Cikoang, untuk disantap bersama.
Penggunaan perahu pada maudu tersebut, ternyata merujuk pada hadis nabi Muhammad "Perumpamaan keluargaku seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam," (H.R. Thabrani). Sebuah hadis yang populer dikalangan muslim Persia.
"Ulama generasi pertama yang notabene masih memiliki garis keturunan yang dekat dengan Rasulullah, senantiasa berupaya menanamkan kecintaan terhadap keluarga nabi, sebagaimana disyariatkan. Sehingga simpul dakwah dan penyebaran Islam, tidak lepas dari pengaruh tersebut. Hal itu berlaku sejak Sayyid Jamaluddin berdakwah di Tosora, Sayyid Jalaludin di Cikoang, hingga seluruh murid-murid mereka," urainya.
Tradisi lain warisan ulama generasi pertama yang masih ditemukan hingga kini adalah peringatan asyura pada bulan Muharram. Bulan terbunuhnya Husain bin Ali, cucu nabi Muhammad beserta pengikutnya. Peringatan asyura, tidak akan kita temukan pernah dilakukan oleh ulama dari Arab-Gujarat atau turunannya dari Minagkabau. Dibeberapa daerah, mereka memperingatinya dengan membuat bubur.
Di Kampung Mandar Parepare, masih ditemukan tradisi itu. Tokoh Mandar, Ahmad Kohawan menjelaskan bubur asyura biasanya dimasak bersama warga. Lalu dibagi pada setiap rumah tangga. Orang miskin, anak yatim dan mustadafin akan mendapat perhatian khusus mendapatkan pembagian bubur itu, sebagai simbol penghargaan terhadap kehidupan dua cucu nabi, Hasan dan Husain.
"Sebagian besar orang Mandar, menganggap bulan Muharram dan Syafar sebagai bulan makarra’, mengandung bahaya, berkaitan dengan hal-hal mistis yang harus diwaspadai. Anak-anak dilarang memanjat pohon, bermain benda-benda tajam, dan harus cepat pulang ke rumah saat petang. Selain itu, hari tertentu dalam dua bulan itu dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk melakukan perkawinan, atau hajatan lainnya," bebernya.
Muharram sejatinya bulan kesedihan dan musibah sejarah. Wajar, kata Ahmad bila di Polman keluarga muslim akan melakukan marroma Muharram. Sebuah kenduri sederhana, namun suguhannya bukan bubur, tetapi sokko (nasi ketan), loka tira’ (pisang raja) dan segelas air putih. "Kepala keluarga membacakan doa selamat, salah satunya untuk menghindari musibah," kata Ahmad.
Seiring perubahan zaman, tradisi itu mulai bergeser. Bahkan, Muharram kini dipahami terbalik oleh sebagian muslim Sulsel. Masyarakat
muslim pada awal muharram yang mau menyambutnya dengan bergembira, dan beramai-ramai ke pasar untuk membeli perabotan dapur.
Hal itu lebih kurang disebabkan karena pengaruh ulama generasi pertama bagi budaya lokal Sulsel, tidak banyak mendapat perhatian para peneliti, budayawan maupun sejarawan. Hanya segelintir yang mendalami darimana budaya itu berakar hingga sarat dengan nilai Islam. Namun demikian, kita telah melihat, pengaruh itu telah menorehkan jejak-jejak istimewa di Sulsel. (*)
M HARIS SYAH
Maros-Parepare
Salah satu yang bertahan hingga kini adalah perayaan maulid khas Cikoang, Takalar dan Tanralili, Maros. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad dikedua daerah -yang cukup berjauhan- itu kerap disebut maudu lompoa dan maulid perahu. Mengapa perahu? apa hubungannya dengan ajaran Islam?
Maulid perahu di Tanralili rutin digelar di Desa Damai. Sekira 500 perahu berlayar, berjejer ditancapkan ditanah lapang dan dijejali pelbagai jenis benda. Bukan hanya makanan, tetapi juga barang kebutuhan sehari-hari. Namun yang menarik, teka-teki mengapa perahu digunakan dalam maulid. Padahal Desa Damai sama sekali tidak punya korelasi dengan perahu, jika ditarik dari pesisir, jarak desa itu bisa sampai 35-40 km.
"Warga juga tidak satupun yang berprofesi sebagai nelayan, laut jauh, danau tidak ada, sungai-pun bukan perahu jenis seperti ini (berlayar) yang dipakai," kata salah satu warga Desa Damai, Dg Ngempo yang telah bertahun-tahun ikut maudu lompoa
Camat Tanralili, Rais Noval menyebut tradisi itu telah dilaksanakan sejak ratusan tahun lalu. Tahun 1600-an, salah seorang murid Sayyid Jalaluddin yang telah lebih dahulu tiba di Takalar, merantau hingga ke Tanralili. Meski namanya hilang akibat sumber tutur yang makin sedikit, dialah diketahui yang berinisiatif memulai tradisi tersebut. Sayyid Jalaluddin sendiri, memulai tradisi yang sama di Cikoang.
Menurut Peneliti Unhas Supratman, maulid perahu di Cikoang telah dimulai sejak 8 Rabiul Awal, 1041 H, atau 1620 m. Maulid ini terdiri dari dua tahap. Pertama, Maudu Caddi, di mana setiap rumah tangga membuat Kanre Maudu dirumah warga sendiri, dan kedua sebagai Maudu Lompoa, hidangan ritual dimana Kanre Maudu disiapkan oleh setiap rumah tangga dari klan al-Aidid berkumpul di tepi muara Sungai Cikoang, untuk disantap bersama.
Penggunaan perahu pada maudu tersebut, ternyata merujuk pada hadis nabi Muhammad "Perumpamaan keluargaku seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam," (H.R. Thabrani). Sebuah hadis yang populer dikalangan muslim Persia.
"Ulama generasi pertama yang notabene masih memiliki garis keturunan yang dekat dengan Rasulullah, senantiasa berupaya menanamkan kecintaan terhadap keluarga nabi, sebagaimana disyariatkan. Sehingga simpul dakwah dan penyebaran Islam, tidak lepas dari pengaruh tersebut. Hal itu berlaku sejak Sayyid Jamaluddin berdakwah di Tosora, Sayyid Jalaludin di Cikoang, hingga seluruh murid-murid mereka," urainya.
Tradisi lain warisan ulama generasi pertama yang masih ditemukan hingga kini adalah peringatan asyura pada bulan Muharram. Bulan terbunuhnya Husain bin Ali, cucu nabi Muhammad beserta pengikutnya. Peringatan asyura, tidak akan kita temukan pernah dilakukan oleh ulama dari Arab-Gujarat atau turunannya dari Minagkabau. Dibeberapa daerah, mereka memperingatinya dengan membuat bubur.
Di Kampung Mandar Parepare, masih ditemukan tradisi itu. Tokoh Mandar, Ahmad Kohawan menjelaskan bubur asyura biasanya dimasak bersama warga. Lalu dibagi pada setiap rumah tangga. Orang miskin, anak yatim dan mustadafin akan mendapat perhatian khusus mendapatkan pembagian bubur itu, sebagai simbol penghargaan terhadap kehidupan dua cucu nabi, Hasan dan Husain.
"Sebagian besar orang Mandar, menganggap bulan Muharram dan Syafar sebagai bulan makarra’, mengandung bahaya, berkaitan dengan hal-hal mistis yang harus diwaspadai. Anak-anak dilarang memanjat pohon, bermain benda-benda tajam, dan harus cepat pulang ke rumah saat petang. Selain itu, hari tertentu dalam dua bulan itu dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk melakukan perkawinan, atau hajatan lainnya," bebernya.
Muharram sejatinya bulan kesedihan dan musibah sejarah. Wajar, kata Ahmad bila di Polman keluarga muslim akan melakukan marroma Muharram. Sebuah kenduri sederhana, namun suguhannya bukan bubur, tetapi sokko (nasi ketan), loka tira’ (pisang raja) dan segelas air putih. "Kepala keluarga membacakan doa selamat, salah satunya untuk menghindari musibah," kata Ahmad.
Seiring perubahan zaman, tradisi itu mulai bergeser. Bahkan, Muharram kini dipahami terbalik oleh sebagian muslim Sulsel. Masyarakat
muslim pada awal muharram yang mau menyambutnya dengan bergembira, dan beramai-ramai ke pasar untuk membeli perabotan dapur.
Hal itu lebih kurang disebabkan karena pengaruh ulama generasi pertama bagi budaya lokal Sulsel, tidak banyak mendapat perhatian para peneliti, budayawan maupun sejarawan. Hanya segelintir yang mendalami darimana budaya itu berakar hingga sarat dengan nilai Islam. Namun demikian, kita telah melihat, pengaruh itu telah menorehkan jejak-jejak istimewa di Sulsel. (*)
Komentar
Posting Komentar