Sayyid Jamaluddin, Pendakwah Pertama yang Terlupakan Sejarah (Bag.1)



Sejarah Islam di Sulsel selalu dikaitkan dengan kedatangan tiga datuk dari Minangkabau sebagaimana referensi umum. Namun banyak yang belum tahu, Sayyid Jamaluddin Husain telah menginjakkan kaki di Sulsel datang jauh sebelum ketiganya memulai dakwah.

M Haris Syah
Tosora

Dalam pelbagai referensi, awal masuknya Islam di Sulsel dihitung sejak datangnya tiga ulama. Mereka adalah Datuk ri Bandang alias Abdul Makmur, Datuk ri Tiro alias Nurdin Ariyani alias Abdul Jawad dan Datuk ri Patimang alias Sulaiman. Tiga ulama asal Minangkabau itu menginjakkan kaki di Sulsel pada abad ke-16, sekira tahun 1604-1605 m.

Jika kita mengacu pada referensi tersebut -termasuk yang hingga kini diajarkan di buku sejarah-, maka angka tersebut tidak keliru. Namun sebuah makam kuno di kompleks mesjid tua di Tosora -20 km dari Kota Sengkang-, Wajo, menyampaikan pesan berbeda. Pada makam itu tertera angka 1453 m. "Disitu dimakamkan seorang ulama asal Persia, Sayyid Jamaluddin Husain al-Kubra, keturunan terdekat Rasulullah di Indonesia, dan guru para walisongo," jelas budayawan dan sejarawan Wajo, Andi Rahmat Munawar.

Makam Sayyid Jamaluddin terletak disamping mesjid, dengan sebuah batu besar berdiamter 50 cm sebagai nisannya. FAJAR sendiri telah mengupas mesjd itu dalam satu edisi beberapa waktu yang lalu. Perkembangan terbaru, anggota DPR-RI Eka Sastra telah memugar kompleks makam tersebut menjadi lebih baik.

Disamping makam beliau, juga ada makam pembesar dan tokoh masyarakat Tosora masa lampau, dengan dua buah meriam yang jadi nisan.  Rahmat menjelaskan, Sayyid Jamaluddin merupakan kakek kandung empat dari sembilan anggota walisongo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Pendiri Komunitas Sempugi itu menyebut, Sayyid Jamaluddin tiba di Sulsel via Barru, sekira tahun 1300-an bersama 15 orang lainnya. Dia lalu mengambil jalur horisontal memotong dari Barru, mengitari Danau Tempe, lalu berdakwah di Belawa dan akhirnya menetap dan wafat di Tosora. "Meski ada beberapa versi mengenai dimana makam sebenarnya," katanya.

Versi lain tercatat di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Seorang peneliti bernama Martin van Bruinessen, pada tahun 1995 menyebut bahwa sekali waktu ada seorang muslim dari Persia yang pernah mengunjungi Indonesia Timur. Dia mendakwahkan Islam di Sulsel dan meninggal di sana sekira tahun 1320.

Namun kebenaran makam itu sempat membuat pemerintah Wajo ketar-ketir pada tahun 1980. Konon pada waktu itu, ulama yang juga memiliki garis sedarah dengan Rasulullah, KH Abdurrahman Wahid alias Gusdur (yang kelak jadi Presiden RI) sempat berkunjung ke salah satu daerah di Sulsel. Tiba-tiba ditengah perjalanan, Gusdur memerintahkan iring-iringan mobil untuk berbelok ke Tosora. Dia ingin menziarahi makam kakeknya itu.

"Sayyid Jamaluddin tidak akan dikenal andai Gusdur tidak melakukan 'manuver' itu. Sayang sekali saat itu jembatan ke Tosora putus, membuat ziarah itu ditunda. Nanti pada zaman SBY presiden Gusdur merencanakan datang lagi, sehingga pemerintah langsung memerbaiki jembatan bahkan membeton jalan hingga ke Tosora," beber Rahmat.

Akademisi dan peneliti Unhas, DR Supratman Athana menyebut, bukti atas peran penting Islamisasi yang dilakukan ulama Persia ini tersebar hampir diseluruh Sulselbar.  Metode yang digunakan oleh Sayyid Jamaluddin memperkenalkan Islam, adalah mengembangkan budaya lokal dengan menyisipkan keyakinan tauhid yang lebih baik dan lebih mencerahkan serta perilaku atau upacara keagamaan yang dapat menjadi alat untuk mengenal keyakinan tauhid itu.

Diantaranya bisa melalui pintu tasawwuf, filasafat, dan tradisi budaya agama seperti; maulid, asyura, barazanji dan sebagainya. "Jika itu kita cermati satu persatu, kita dapat membuat kesimpulan bahwa budaya Islam pertama yang datang di Sulawesi adalah Islam Persia dibanding warna Islam lainnya seperti Arab atau Gujarat," jelas Supratman

Jika sosok Sayyid Jamaluddin begitu pentingnya, mengapa jejaknya tidak pernah ditemukan dalam sejarah ? Padahal perannya vital sebagai pendakwah generasi pertama dalam proses Islamisasi di Sulsel. Penelusuran penulis tidak berhenti sampai disitu. Meski minim referensi, masih ada beberapa jejak sejarah yang penulis kunjungi, setidaknya untuk melihat fakta bahwa motor Islamisasi di Sulsel tidaklah tunggal. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)