La Pele yang Disepelekan Penguasa



La Pele, pemuda tulang punggung keluarga yang jasadnya dianggap sepele. Jasadnya mesti diangkut pakai motor, tengah malam, karena tidak diperkenankan memakai ambulans.

Saya sangat yakin dia syahid. Suaranya saat mati, jauh lebih tajam dibanding suara para dewan, suara para pejabat.
Syahidnya Pele membangunkan semua. Mahasiswa, ormas, buruh pelabuhan hingga orang pedalaman.

Kemarin, saya kunjungi rumahnya.
Saya tidak menghitung ada berapa anak tangga dirumahnya, yang semuanya mesti diikat tali yang dibawa Pele dari pelabuhan...
Saya melihat ibunya melipat baju Pele yang hanya beberapa lembar, sungguh.
Ulu hatiku perih melihat adik La Pele yang sedang demam tinggi, meringkuk disudut kamar kumuh itu, sambil memeluk selembar baju kakaknya.
Kata ibunya, disudut kamar itulah Pele melepas letihnya setelah bekerja serabutan, siang di pelabuhan, malam bongkar bangunan.

Saya lama menatapi rayap yang menggerogoti dinding rumahnya dari bambu. Terik matahari menerobos masuk lewat lubang-lubang diatap. Jika kita letakkan segelas air putih dilantai rumah itu, airnya miring menunjukkan rumah itu sudah tidak simetris.

Kutiti lagi tangga itu saat turun, jantungku berdesir mengingat sepenggal sabda Nabi, "Carilah aku ditengah-tengah orang yang tertindas..."

Rakyat berlawan. Dewan merespon. Walikota merasa itu masalah jasad La Pele hanya hal sepele, dibesar-besarkan, disetting. Walikota sempat berkata ketus kepada saya, "profesionalko bekerja!"

Ah, saya tidak peduli. Saya justru makin tertantang. Apakah secuil yang saya perbuat untuk membela La Pele, kaum mustadafin (tertindas) sudah cukup ???

Lama ku renungi, tiba-tiba kuingat cerita seorang guru;
Tatkala Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrud sang penguasa zalim, seekor semut berlari, susah payah membawa sebutir air dimulutnya...
Semua heran dan bertanya, "Wahai semut untuk apa kamu bawa butiran air kecil itu, tidak akan ada gunanya dibanding dengan api Namrud yg akan membakar Ibrahim?"

Semut itu menjawab, "Memang air ini tidak akan bisa memadamkan api itu, tapi dengan ini aku menegaskan dipihak mana aku berada..."
Sementara, disudut lain seekor cicak ikut meniup api yg dibuat oleh Namrud agar semakin membesar. Memang tiupan cicak tidak seberapa dan tidak akan membesarkan kobaran api itu, tapi dengan apa yg dilakukannya semua tahu cicak ada di pihak yg mana...

ah, ada sedikit lega. Dadaku semakin lapang saat kubaca kalimat sakti Sayyidina Ali. "Jika kau kenali kebenaran, kau tahu kemana harus berpihak..."

M Haris Syah (saat itu masih menjadi jurnalis FAJAR)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akik Yaman, Simbol Persatuan Mahzab

Laporan Aktualisasi; Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas VI B di UPT SD Negeri 1 Enrekang

Sayyid Jamaluddin, Sisipkan Ajaran Tauhid pada Budaya Lokal (bag.2)