Potret Nyata Hukum Tajam Kebawah, Tumpul Keatas
M Haris Syah
Lemoe, Bacukiki, Kota Parepare
Bu Mahira sedang mengupas kulit jambu mete saat kami mengunjungi rumahnya. Jari-jarinya terbungkus kain agar getah mete tidak melukai kulit. Ia menyambut kami dengan senyum kecil. Mempersilahkan kami duduk dibalai-balai kolong rumah. Beberapa gelas teh hangat beliau suguhkan.
Mata bu Mahira kelihatan masih sembab. Raut kesedihan nampak. Kemarin, suami sekaligus tulang punggung keluarganya, Sukardi divonis 1 tahun 4 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta.
Bu Mahira tidak banyak mengerti apa kesalahan suaminya. Kata-kata seperti banding hingga pledoi, terlalu asing bagi dia.
Yang dia tau, suaminya adalah peternak biasa, lulusan SD, yang diberi amanah memimpin kelompok tani, beranggotakan 25 peternak. 2012 silam, kelompok tani itu mendapat bantuan sosial untuk sapi bunting. Rp200 juta tentu bukan "rejeki" yang sedikit.
Namun "rejeki" juga ternyata bersyarat. Rp20 juta, konon harus disisihkan untuk "jatah" salah satu pejabat. Sisanya, Rp180 juta harus mereka bagi rata untuk seluruh peternak... Masing-masing peternak kebagian Rp2-3 jutaan.
"Atur saja,,," demikian Mahira menirukan perkataan pejabat itu.
Mereka tidak tau, bahwa uang negara tidak boleh dipakai suka-suka. Ada peruntukannya. Rp200 juta itu seharusnya hanya dibagi kepada peternak yang punya sapi bunting. Sesuatu yang sebenarnya tidak begitu rumit untuk dimengerti.
Mahira tentu tidak pernah penyangka, lima tahun kemudian bansos itu berbuntut panjang, dan mengantarakan suami dan dua rekannya yang lain ke jeruji besi. Sementara pejabat itu, justru bebas dari segala tuduhan, setelah mengembalikan jatahnya ke negara. Pejabat itu kini bisa menikmati pensiun dengan 'tentram'.
Sementara suami Mahira telah lima bulan merasakan dinginnya hotel prodeo. Selama itu, Mahira menjadi ibu sekaligus ayah bagi empat anak mereka. Bekerja mengupas mete, hanya satu dari sekian pekerjaan serabutan yang dia lakoni demi menutupi kebutuhan hidup.
Anaknya yang paling sulung, sudah SMA. Bu Mahira mungkin bisa membuat anaknya paham mengapa mereka hanya diberi uang jajan selembar dua ribuan. Namun dia tak pernah bisa menjelaskan kenapa ayah mereka tak pulang juga...
Jika pejabat bisa lolos dari jerat hukum karena mengembalikan "jatahnya", mengapa suaminya yang hanya peternak lulusan SD, tidak bisa mengembalikan Rp2 juta yang dia terima?.
Lemoe, Bacukiki, Kota Parepare
Bu Mahira sedang mengupas kulit jambu mete saat kami mengunjungi rumahnya. Jari-jarinya terbungkus kain agar getah mete tidak melukai kulit. Ia menyambut kami dengan senyum kecil. Mempersilahkan kami duduk dibalai-balai kolong rumah. Beberapa gelas teh hangat beliau suguhkan.
Mata bu Mahira kelihatan masih sembab. Raut kesedihan nampak. Kemarin, suami sekaligus tulang punggung keluarganya, Sukardi divonis 1 tahun 4 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta.
Bu Mahira tidak banyak mengerti apa kesalahan suaminya. Kata-kata seperti banding hingga pledoi, terlalu asing bagi dia.
Yang dia tau, suaminya adalah peternak biasa, lulusan SD, yang diberi amanah memimpin kelompok tani, beranggotakan 25 peternak. 2012 silam, kelompok tani itu mendapat bantuan sosial untuk sapi bunting. Rp200 juta tentu bukan "rejeki" yang sedikit.
Namun "rejeki" juga ternyata bersyarat. Rp20 juta, konon harus disisihkan untuk "jatah" salah satu pejabat. Sisanya, Rp180 juta harus mereka bagi rata untuk seluruh peternak... Masing-masing peternak kebagian Rp2-3 jutaan.
"Atur saja,,," demikian Mahira menirukan perkataan pejabat itu.
Mereka tidak tau, bahwa uang negara tidak boleh dipakai suka-suka. Ada peruntukannya. Rp200 juta itu seharusnya hanya dibagi kepada peternak yang punya sapi bunting. Sesuatu yang sebenarnya tidak begitu rumit untuk dimengerti.
Mahira tentu tidak pernah penyangka, lima tahun kemudian bansos itu berbuntut panjang, dan mengantarakan suami dan dua rekannya yang lain ke jeruji besi. Sementara pejabat itu, justru bebas dari segala tuduhan, setelah mengembalikan jatahnya ke negara. Pejabat itu kini bisa menikmati pensiun dengan 'tentram'.
Sementara suami Mahira telah lima bulan merasakan dinginnya hotel prodeo. Selama itu, Mahira menjadi ibu sekaligus ayah bagi empat anak mereka. Bekerja mengupas mete, hanya satu dari sekian pekerjaan serabutan yang dia lakoni demi menutupi kebutuhan hidup.
Anaknya yang paling sulung, sudah SMA. Bu Mahira mungkin bisa membuat anaknya paham mengapa mereka hanya diberi uang jajan selembar dua ribuan. Namun dia tak pernah bisa menjelaskan kenapa ayah mereka tak pulang juga...
Jika pejabat bisa lolos dari jerat hukum karena mengembalikan "jatahnya", mengapa suaminya yang hanya peternak lulusan SD, tidak bisa mengembalikan Rp2 juta yang dia terima?.
Komentar
Posting Komentar