Langgar Petuah, Rambah Hutan Terlarang
Gunung idealnya menjadi sumber air yang kaya, namun warga kaki gunung Bawakaraeng justru kesulitan air untuk kebun mereka
M HARIS SYAH
Gunung Bawakaraeng
Senyum senantiasa terpancar di wajah Hartati. Ia dengan ramah menjawab pertanyaan penulis yang mengunjungi kebunnya, Kamis 11 September lalu. Kebun Hartati berada di kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di desa Bulu Balea. Sekitar 15 km dari Malino.
Sambil membersihkan daun bawang, Ia bercerita, berkebun adalah mata pencaharian utama masyarakat desa ini. Mereka mengandalkan air dari pegunungan untuk menyirami sayuran, utamanya dimusim kemarau seperti saat ini.
Namun, akhir-akhir ini, pasokan air dari gunung berkurang. Musim kemarau biasanya bukan kendala bagi mereka untuk berkebun, tapi saat ini mereka kadang kesulitan air. Untungnya, wakil mereka di DPRD Gowa, H Rapping berkenan membuatkan bak penampungan air, sehingga bisa sedikit tertolong.
Dirinya menyebut, kesulitan air ini selalu dialami selama beberapa kemarau terakhir salah satunya disebabkan karena petani sayur di lereng gunung Bawakaraeng membendung aliran sungai untuk mereka gunakan menyiram tanaman. "Air sedikir ji yang sampai disini. Kita mi yang dibawah ini susah cari air," ujar perempuan yang akrab disapa Tati ini.
Tati merupakan penduduk asli desa Bulu Balea. Ia menggarap tanah warisan turun temurun. Namun petani di lereng, rata-rata merupakan warga pendatang masuk merambah hutan, membakarnya dimusim kemarau dan menggarapnya saat musim hujan, antara bulan Desember hingga Februari.
Hal ini tidak hanya terjadi di desa Bulu Balea. Tetangga mereka, desa Lembanna juga merasakan hal serupa. Kepala Lingkungan Lembanna, Hamsah berkenan mengajak penulis menyusuri daerah rambahan. Sekitar 5 km dari utara Lembanna. Dari sana, bisa terlihat kepulan asap tebal membumbung tinggi. Hamsah menyebut, asap itu berasal dari sekitaran pos 5.
Asap tersebut adalah hasil pembakaran lahan yang dilakukan oleh warga pendatang. "Sejak perkebunan daerah ini sukses, banyak warga pendatang yang masuk. Mereka saling mengajak, dan berkebun di daerah terlarang itu," ujarnya seraya menunjuk kearah kepulan asap.
Hamsah menjelaskan, nenek moyang mereka, telah membagi daerah hutan yang luasnya mencapai ratusan hektar ini menjadi beberapa bagian. bagian-bagian itu mereka beri nama, Diantaranya, Maddakko, Kalimbungan, Matteko dan Kampung Veteran. Yang terakhir disebut adalah daerah yang boleh digarap oleh warga pemilik lahan. Sisanya, masuk dalam kawasan hutan lindung.
Disebut kampung veteran karena lahan itu adalah pemberian pemerintah kepada nenek moyang mereka, para pejuang yang turut membantu mempertahankan kemerdekaan.
Sedangkan, kampung veteran ini berada di daerah paling bawah. Sehingga jika warga pendatang membendung aliran air, maka mereka dipastikan tidak kebagian air untuk kebun mereka. Jika ditegur, biasanya berujung konflik.
"Sejak 1949, nenek moyang hingga kami sekarang memegang teguh prinsip bahwa keseimbangan gunung harus dijaga. Karena itu, warga lokal tidak akan berani merambah jauh ke hutan untuk berkebun, kami hanya menggarap lahan milik kami. Yang masuk hingga kawasan hutan itu hanya warga pendatang," bebernya.
Tidak hanya membakar lahan dan membendung aliran sungai. Di lereng gunung juga sering terjadi penebangan pohon secara liar dan pencurian kayu. Pihak Kehutanan atau Badan Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA) harus lebih sering melakukan pemantauan atas hal ini. "Kalau perlu tongkrongi disitu untuk menangkap siapa sebenarnya yang merusak hutan, jangan cuma tinggal di kantor" keluh Hamsah.
Hal ini semakin menambah panjang keluhan warga desa. Air yang tinggal sedikit gara-gara penebangan dan pencurian pohon, menjadi semakin sedikit karena ditampung oleh warga pendatang yang berkebun dilahan kritis. Ini memang sebuah ironi, daerah pegunungan yang seharusnya kaya air, justru harus kesulitan air. Jika longsor, semua pada akhirnya menanggung akibatnya.
Hamsah menyebut daerah-daerah yang perlu mewaspadai longsoran, terutama saat puncak musim hujan antara lain, Tassoso (Sinjai Barat), Borong (Bulukumba), Lengkese dan Majennag (Parigi). Melihat kondisi Bawakaraeng saat ini, hal itu bukan tidak mungkin terulang kembali.
Anggota DPRD Gowa, H Rapping yang berasal dari daerah ini menyebut, Pemerintah mulai saat ini perlu membangun kembali patok pembatas yang tegas, tentang mana lahan yang boleh digarap dan mana yang tidak. Patok itu sebenarnya pernah dibangun tahun 1980. Tapi kemudian hilang dicuri orang. Hukuman yang tegas bagi para perambah hutan juga mesti ditegakkan.
"Warga yang berkebun di lahan kritis itu juga harus berkomitmen, menanam pohon sebagai ganti pohon yang telah mereka tebang," tandasnya.
Dengan begitu, diharapkan potensi longsor serupa sepuluh tahun lalu bisa diminamilisir. Warga juga bisa kembali dengan mudah memperoleh air. Anugerah tuhan berupa Gunung Bawakaraeng, yang memberi manfaat tak ternilai bagi semuanya, harus terus dijaga. (*)
Komentar
Posting Komentar