Mesti Ngutang Jika Tidak Melaut
*) Dampak Pembatasan BBM Bagi Nelayan Paotere
Jika sehari tidak turun kelaut, bolehlah. Tapi jika sudah dua tiga hari, mereka harus ngutang sana-sini agar keluarga bisa makan. Ini telah mereka alami seminggu terakhir sejak solar jarang mereka temui lagi.
M HARIS SYAH
Pelabuhan Paotere
Pagi menjelang siang di Pelabuhan Paotere, Senin 1 September. Sekira pukul 10.00 Wita pagi, tiga orang pria duduk di geladak sebuah bangkai kapal tak terpakai. Bangkai kapal itu terdampar di pinggir dermaga, disulap menjadi tempat bernaung yang nyaman, lengkap dengan balai-balai.
Dermaga pagi itu tidak begitu ramai. Meski disekitarnya sandar puluhan kapal berbagai ukuran. Salah satu kapal itu bernama Rajawali Laut sandar paling dekat dengan bangkai kapal, tempat ketiga pria ini melepas lelah. Penulis mengampiri mereka, disambut ramah segera saja kami cepat akrab.
Salah seorang diantaranya, sering disapa Rudding. Nelayan sekaligus petani rumput laut ini berkenan berbagi cerita tentang kesulitan para nelayan sejak kebijakan pembatasan BBM diberlakukan.
Rudding berujar, ia dan rekan-rekannya hari ini tidak melaut untuk kesekian kalinya. Sudah seminggu terakhir, solar begitu sulit ditemukan di pelabuhan ini. "Kita butuh sekitar 1000 liter solar sekali isi, sementara kita hanya dijatah 200 liter disana," keluhnya seraya menunjuk SPBU Pertamina, tak jauh dari dermaga.
Padahal, kapal ukuran sedang, untuk sekali jalan pulang pergi (PP) pelabuhan ke daerah kepulauan butuh 240 liter. "Itu digunakan nelayan seperti saya untuk cari ikan dan tanam rumput laut," jelasnya.
Rekan Rudding, akrab dipanggil Pak Mandor mengeluhkan mahalnya harga solar yang harus mereka tebus jika ingin dapurnya tetap mengepul. Sering ia harus membeli solar di SPBU Galangan atau bahkan hingga SPBU Panampu. Sikap SPBU di pelabuhan yang cenderung menganak-emas-kan kapal besar membuat mereka tersisih. "Kalaupun dapat, paling cuma sisa-sisanya kapal besar, itupun tidak seberapa," ujarnya
Sedang, memperoleh solar diluar juga tidak mudah. Mengisi solar dengan jeriken, mereka harus merogoh kocek tambahan sebesar Rp 3000 per jeriken ukuran 30 liter. Belum lagi, jeriken yang mereka angkut susah payah itu harus melalui pemeriksaan Polisi ketika akan dimasukkan ke pelabuhan.
"Kita tidak permasalahkan uang rokok buat Polisi, yang penting barang-barang kami tidak ditahan," kata Pak Mandor yang diaminkan rekan-rekannya.
Aksi para spekulan yang memborong solar dalam jumlah besar juga turut mengganggu. Apalagi jelang kenaikan harga BBM. Pak Mandor menceritakan, ia pernah meliihat mobil boks yang didalamnya penuh jeriken mengisi solar di SPBU.
Itulah yang membuat solar kian langka. Padahal, Pertamina dijatah 280 ton solar perbulan, menurut perhitungan Pak Mandor dan Rudi, jumlah itu seharusnya cukup. Tapi fakta dilapangan, mereka kerap kesulitan apalagi sejak pembatasan BBM agustus ini.
Seperti itulah, akumulasi masalah berat yang harus mereka hadapi tiap hari. Penghasilan kotor nelayan dalam kondisi seperti ini hanya sekira Rp 200 ribu per hari. "Sudah seminggu ini, banyak teman-teman yang mesti ngutang kalau masih mau hidup," katanya. Tuntutan memberi makan keluarga membuat beberapa diantara mereka tetap nekat melaut, meski menempuh resiko kehabisan bahan bakar ditengah laut Makassar.
Penulis coba bertanya di Polsek Pelabuhan Paotere, apakah ada kasus kapal kehabisan bahan bakar saat tengah melaut. Aipda Djoni yang menerima penulis mengaku sejauh ini semuanya aman-aman saja. "Semua terkendali bos, paling cuma kasus pencurian yang banyak," ujarnya santai.
Terakhir Pak Mandor mengeluhkan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan rakyat kecil sepertinya. "Namanya Indonesia bos, selalu kacau. Istilahnya, kami ini orang kecil, masuk lubang, diinjak lagi kepala ta," tandasnya. (ris)
Jika sehari tidak turun kelaut, bolehlah. Tapi jika sudah dua tiga hari, mereka harus ngutang sana-sini agar keluarga bisa makan. Ini telah mereka alami seminggu terakhir sejak solar jarang mereka temui lagi.
M HARIS SYAH
Pelabuhan Paotere
Pagi menjelang siang di Pelabuhan Paotere, Senin 1 September. Sekira pukul 10.00 Wita pagi, tiga orang pria duduk di geladak sebuah bangkai kapal tak terpakai. Bangkai kapal itu terdampar di pinggir dermaga, disulap menjadi tempat bernaung yang nyaman, lengkap dengan balai-balai.
Dermaga pagi itu tidak begitu ramai. Meski disekitarnya sandar puluhan kapal berbagai ukuran. Salah satu kapal itu bernama Rajawali Laut sandar paling dekat dengan bangkai kapal, tempat ketiga pria ini melepas lelah. Penulis mengampiri mereka, disambut ramah segera saja kami cepat akrab.
Salah seorang diantaranya, sering disapa Rudding. Nelayan sekaligus petani rumput laut ini berkenan berbagi cerita tentang kesulitan para nelayan sejak kebijakan pembatasan BBM diberlakukan.
Rudding berujar, ia dan rekan-rekannya hari ini tidak melaut untuk kesekian kalinya. Sudah seminggu terakhir, solar begitu sulit ditemukan di pelabuhan ini. "Kita butuh sekitar 1000 liter solar sekali isi, sementara kita hanya dijatah 200 liter disana," keluhnya seraya menunjuk SPBU Pertamina, tak jauh dari dermaga.
Padahal, kapal ukuran sedang, untuk sekali jalan pulang pergi (PP) pelabuhan ke daerah kepulauan butuh 240 liter. "Itu digunakan nelayan seperti saya untuk cari ikan dan tanam rumput laut," jelasnya.
Rekan Rudding, akrab dipanggil Pak Mandor mengeluhkan mahalnya harga solar yang harus mereka tebus jika ingin dapurnya tetap mengepul. Sering ia harus membeli solar di SPBU Galangan atau bahkan hingga SPBU Panampu. Sikap SPBU di pelabuhan yang cenderung menganak-emas-kan kapal besar membuat mereka tersisih. "Kalaupun dapat, paling cuma sisa-sisanya kapal besar, itupun tidak seberapa," ujarnya
Sedang, memperoleh solar diluar juga tidak mudah. Mengisi solar dengan jeriken, mereka harus merogoh kocek tambahan sebesar Rp 3000 per jeriken ukuran 30 liter. Belum lagi, jeriken yang mereka angkut susah payah itu harus melalui pemeriksaan Polisi ketika akan dimasukkan ke pelabuhan.
"Kita tidak permasalahkan uang rokok buat Polisi, yang penting barang-barang kami tidak ditahan," kata Pak Mandor yang diaminkan rekan-rekannya.
Aksi para spekulan yang memborong solar dalam jumlah besar juga turut mengganggu. Apalagi jelang kenaikan harga BBM. Pak Mandor menceritakan, ia pernah meliihat mobil boks yang didalamnya penuh jeriken mengisi solar di SPBU.
Itulah yang membuat solar kian langka. Padahal, Pertamina dijatah 280 ton solar perbulan, menurut perhitungan Pak Mandor dan Rudi, jumlah itu seharusnya cukup. Tapi fakta dilapangan, mereka kerap kesulitan apalagi sejak pembatasan BBM agustus ini.
Seperti itulah, akumulasi masalah berat yang harus mereka hadapi tiap hari. Penghasilan kotor nelayan dalam kondisi seperti ini hanya sekira Rp 200 ribu per hari. "Sudah seminggu ini, banyak teman-teman yang mesti ngutang kalau masih mau hidup," katanya. Tuntutan memberi makan keluarga membuat beberapa diantara mereka tetap nekat melaut, meski menempuh resiko kehabisan bahan bakar ditengah laut Makassar.
Penulis coba bertanya di Polsek Pelabuhan Paotere, apakah ada kasus kapal kehabisan bahan bakar saat tengah melaut. Aipda Djoni yang menerima penulis mengaku sejauh ini semuanya aman-aman saja. "Semua terkendali bos, paling cuma kasus pencurian yang banyak," ujarnya santai.
Terakhir Pak Mandor mengeluhkan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan rakyat kecil sepertinya. "Namanya Indonesia bos, selalu kacau. Istilahnya, kami ini orang kecil, masuk lubang, diinjak lagi kepala ta," tandasnya. (ris)
Komentar
Posting Komentar