Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Dasar-dasar Jurnalistik (bagian 1)

Gambar
ilustrasi jurnalistik (gambar : kumparan) Artikel ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mengenal dasar-dasar jurnalistik, sebagai pengantar mata kuliah ilmu jurnalistik, atau untuk sekadar memahami dunia jurnalistik.  A. Sejarah Jurnalistik Konon pada zaman Romawi kuno saat era kekuasaan Julius Caesar (100-44 SM), pemerintah menggunakan sejenis papan pengumuman. Papan ini disebut Acta Diurna.  Secara harfiyah, Acta Diurna diartikan sebagai Catatan Harian atau Catatan Publik Harian. Papan ini diletakkan di forum Romanum agar diketahui khalayak. Acta Diurna awalnya berisi catatan proses dan keputusan hukum, lalu berkembang menjadi pengumuman kelahiran, perkawinan, hingga keputusan kerajaan atau senator dan acara pengadilan. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama sekaligus pers, media massa, atau suratkabar/koran pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”. Kata atau istilah jurnalistik pun berasal dari Acta Diurna itu. Orang yan

Ma'jujung

Gambar
Apa bahasa Indonesia-nya 'ma'jujung'? Saya kesulitan menemukan istilah untuk aktivitas membawa barang di atas kepala. Kawan saya, guru Bahasa Indonesia yang mabessa bu Norazizah juga menyerah mencari kata yang tepat. Ma'jujung itulah aktivitas Dg Ngai sehari-hari. Saya menjumpainya di jalan poros Rappang-Parepare, dekat penjual cendol. Baskom, ember, mangkok, hingga sisir jualannya ia atur bersusun-susun. Lalu diangkat diatas kepalanya yang dilapisi kain melilit. Tangannya menjinjing keranjang berisi macam-macam spakula. Saat kubantu menurunkan jualannya itu, saya taksir beratnya tak kurang dari 20 kg. Tentu sangat berat untuk ukuran nenek kelahiran 1955. Itu ia bawa seharian, sambil jalan kaki berkilo-kilo. "Itai sapparengna dui'e bangsata nak," Lihat (betapa susahnya) mencari uang bagi orang seperti kita," kata ibu penjual cendol yang setiap hari melihat Dg Ngai lewat. Dg Ngai bercerita, suaminya yang dulu jadi tulang punggung, kini sakit stroke,

Sistem Pendidikan Islam di Mata Dr Pahri Lubis

Gambar
ilustrasi (gambar: mojok) Saya termasuk manusia yang senang dengan orang yang berpikiran terbuka dan tidak terpengaruh sindrom mayoritanisme. Berdiskusi atau sekadar menyimak pemikiran mereka yang 'nyeleneh' adalah suatu kesenangan tersendiri buat saya.  Maka waktu ngampus online mata kuliah yang dibawakan Dr Pahri Lubis, saya tertarik. 3 SKS saya ikuti sampai selesai, sebuah prestasi bagi pemalas seperti saya. Oh ya, Dr Pahri mengampuh Teori Belajar Mengajar di Pascasarjana UNIAT. Pemaparan beliau tentang sistem pendidikan Islam sangat menarik. Selain menjelaskan teori-teori dalam PBM, beliau juga sesekali mengkomparasi dengan sistem pendidikan di luar negeri. Salah satunya di Republik Islam Iran. Ia menyebut Iran satu-satunya negara yang diakui pemikir barat sebagai negara Islam. Di Iran, kata beliau, tidak ada dikotomi antara kurikulum pendidikan Islam dan bukan Islam. Makanya, tidak mengenal yang namanya yayasan pendidikan Islam. Atau SDIT sebagaimana yang menjamur di Indon

Pak Imam dan Fiqih Lima Mazhab

Gambar
Ilustrasi Sore tadi di perjalanan naik motor dari Enrekang ke rumah mertua, kami kehujanan. Jilbabnya mama Hasan-Husain sudah basah kuyup menutupi Husain, saat kami putuskan mampir berteduh.  Si bapak empunya rumah mempersilahkan kami duduk di teras. Ia baru akan ke mesjid jelang berbuka, saat hujan turun. Tapi hujan tambah deras. Husain dan mamanya kedinginan. Mungkin beliau kasihan, jadi mengajak kami masuk ke rumahnya. Husain disajikan kue coklat.  Kami pun ngobrol sambil menunggu hujan reda. Ia tidak memperkenalkan diri. Tapi saya sempat melirik nama Imam Jafar di dinding luar rumahnya. Lemari di ruang tamunya berisi macam-macam buku. Ada belasan kitab kuning. Yang menarik perhatian saya, di ujung rak terselip buku Fiqih Lima Mahzab. Buku karya Muhammad Jawad Mughniyah ini memaparkan pandangan-pandangan fiqih dari mahzab Ja'fari, Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Buku ini menarik, pertama, sebab imam mahzab yang dikenal umum di Indonesia hanya empat. Fiqih dari Imam Ja&

Jalangkote Cita-cita

Gambar
Saya pernah membaca esai. Judulnya 'Cita-cita Setinggi Jalangkote'. Tentang sekelompok anak-anak miskin penjual jalangkote, yang tidak punya cita-cita. Mereka sudah merasakan banyak kekecewaan-kekecewaan, hingga sekadar bercita-cita pun, mereka tidak berani, menjadi begitu absurd dan hilang dari mimpi-mimpi mereka. Pada kesempatan lain baru-baru ini, saya membaca status seorang kawan. Tulisnya, 'semua orang ingin berkuasa'. Sapu rata ala 'politician wannabe', yang memandang isi kepala semua orang adalah sama. Dua hal itu nampaknya tidak berlaku pada Heril. Anak muda penjual jalangkote ini punya pemikiran sederhana. Bagaimana agar jalangkote buatan ibunya laku sebanyak-banyaknya. Agar ada yang bisa ia sisihkan, untuk membayar sendiri uang sekolahnya.  "Bapak cuma supir pete-pete, adikku 3 orang masih kecil-kecil," katanya, sambil menggulung lembaran rupiah hasil jualannya hari itu. Walau begitu, Heril masih punya nyali bercita-cita. Berkuasa, punya kuas

Pentingnya Pendidikan Anti Radikalisme-Terorisme

Gambar
M Haris Syah (Pengajar, Mahasiswa Manejemen Pendidikan UNIAT) Bom Katedral Makasssar ditanggapi banyak pihak. Berita dan pernyataan sikap berseliweran dimana-mana. Tokoh anu mengutuk, organisasi anu juga mengutuk. Setiap kali teror terjadi sejak tahun 2000 (bom BEJ), kutukan lancar betul. Apa kutukan kita selama ini mampu menghentikan teroris?. Rasanya, kutukan terakhir yang sukses sepertinya cuma kutukan Mande Rubayah ke anaknya, Malin Kundang. Itupun konon fiksi. Memberantas terorisme memang bukan perkara mudah. Pemerintah tentu bukan tanpa usaha. Kontra wacana digencarkan, ada BNPT, ada Densus 88. Tetapi sudah 20 tahun (dan berkembang pesat beberapa tahun belakangan ini) intoleransi, radikalisme dan terorisme menggerogoti tanah air. Itu waktu yang terlalu lama. Sangat cukup untuk menginfiltrasi, beranak pinak, dan menyebar ke pelbagai sektor. Termasuk pendidikan. Secara umum, bibit terorisme dapat muncul dari generasi yang tidak terbiasa dengan perbedaan. Ia menolak keberagaman. Dan

Songko Cella'e dan Beberapa Kisah

Gambar
Pilkada Parepare 2018 lalu menyisakan banyak kisah. Saya diajak bergabung sebagai tim media, mendampingi Faisal Andi Sapada dan Asriady Samad (FAS). Saya mengikuti hampir seluruh kegiatannya. Selama lebih kurang tiga bulan masa kampanye, saya cukup sibuk. Sehingga hanya sebagian kecil kisah-kisah perjalanan Songko Cella'e -sapaan populer Faisal Andi Sapada- yang sempat saya tulis. Sebagian besar lainnya luput terekam. Satu bagian telah terbit di Perspektif dengan judul 'The People Champion'.  Beruntung, fitur kenangan Facebook mengingatkan beberapa kisah lain. Berikut diantaranya; Air mata Bagi orang-orang yang sudah kenyang merasakan pahit-getir kehidupan, meneteskan air mata rasanya sesuatu yang sulit. Ia telah ditempa banyak hal. Saking banyaknya, hanya tersisa sedikit hal yang bisa membuatnya menangis. Itulah yang kira-kira terjadi pada Pak Alimin. Penjual ikan yang saya tebak usianya sudah diatas 60-an itu, berurai air mata saat merangkul idolanya, Faisal Andi Sapada.

Silaturahmi Medsos

Gambar
Perang medsos atas kondisi kekinian makin semrawut. Berbeda pendapat sedikit saja, kita bisa viral kemana-mana. Kebencian bertebaran dan tumbuh subur. Jika kita ingin menghitung, alasan untuk saling membenci pasti tidak ada habisnya. Pada saat yang sama, makin sukar menemukan musabab untuk saling mengasihi dan memaklumi. Namun satu hal yang pasti, saya tidak pernah berjumpa dengan orang yang hidupnya tenang karena mempertahankan pendapat mati-matian di medsos. Sampai mengorbankan banyak hal (termasuk uang, tentunya), demi memuaskan nafsunya mencerca dan saling menjatuhkan oranglainnya. Akhirnya, satu yang paling berharga ikut dikorbankan adalah putusnya silaturahmi. Kita akan selalu punya pembenaran untuk menentramkan hati. "Ah, kan dia yang mulai duluan?". atau frasa semacamnya. Terus apa bedanya? Toh silaturahmi tetap putus. Putus silaturahmi betul-betul banyak ruginya. Saya tidak akan bahas dosanya. Saya bukan ustaz.  Rugi yang langsung terasa pasti makin berkurang orang y

Opsi Kedua

Gambar
Kata orang bijak, hidup adalah tentang pilihan-pilihan. Opsi-opsi.  Seperti tulisan ini. Awalnya, paragraf pertamanya saya hendak bikin seperti ini; 'dunia jurnalistik tanah air akhir-akhir ini dihebohkan dengan penangkapan WP. Seorang yang mengaku jurnalis'.  Tapi setelah saya pikir-pikir, yang heboh siapa, yang dihebohkan apa? Teman-teman jurnalis profesional malah tidak kenal WP selain dari berita konyol soal mahasiswi, 2016 lalu. Maka saya memilih opsi kedua. Tulisan ini saya awali ya seperti diatas itu. Mengutip quote. Ala-ala. Ulasan jurnalis senior M Dahlan Abubakar  rasanya cukup soal kasus WP. Melengkapi penjelasan kadis kominfo dan kapolres. Meski blio juga ngaku sempat tertipu oleh 'kehebohan' WP. Sebagaimana seorang anggota DPR-RI juga berstatement tanpa ngerti duduk percoalan.  Pembahasan mengenai WP saya anggap tamat.  Tapi ini masih tentang opsi. Kita bisa memilih ikut-ikutan ribut -sebagaimana budaya kita-. Atau kita pilih opsi kedua. Rileks. Agar tidak

Belajar Humas Era 5.0

Gambar
Beberapa hari lalu, saya dikirimi link berita oleh seorang kawan. Isinya tentang humas salah satu pemda di Indonesia yang bakal mengontrak influencer. Saya sendiri seorang guru. Tetapi karena punya pengalaman jurnalistik beberapa tahun, saya diperbantukan di Dinas Kominfo. Baru beberapa bulan.  Membaca link berita itu, dengan berada di lingkungan humas, membuat saya semakin ngeh. Makin melek dan tersadar bahwa dunia kehumasan jelang era 5.0 sudah sangat berubah. Dulu saat saya jurnalis, berita teks plus foto pendukung sudah cukup menjadi senjata humas. Sekarang? Maka saya melakukan riset. Kecil-kecilan tentu. Saya membaca makalah dan menyimak ringkasan seminar kehumasan. Saya juga mengingat-ingat kembali diskusi saya dengan beberapa teman yang lebih dulu aktif sebagai humas, dan tentu searching di Google.  Hasil riset itu ingin saya rangkum lewat poin. Mana tau berguna kedepannya. * Humas adalah praktik mengelola penyebaran informasi antara individu atau organisasi dan masyarakat. Begi

MTG yang Kukenal

Gambar
 14 Januari 2021 Muslimin Tanra Gany, ia akrab disapa Miming. Teman-teman juga biasa menyingkat namanya jadi MTG. Saya mengenal beliau sejak awal tugas di Parepare.  Waktu itu sebuah massenger masuk. Menginfokan dugaan pungli. Korbannya puluhan orang. Kalau tidak salah totalnya sampai Rp70 juta. Kasus itu menggelinding di media, dan akhirnya pungutan itu dikembalikan.  Sampai sekarang kalau saya ketemu, mereka tak henti berterimakasih. Bonusnya ditraktir makan atau  ngopi. Padahal itu semata berkat keberanian MTG. Waktu pangkatnya tertahan bertahun-tahun, MTG melawan. Ia dituding macam-macam. Mulai dari malas ngantor sampai tidak netral pada Pilkada.  Miming kembali melawan. Ia berpegang teguh pada asas  actori incumbit onis probandi.  Siapa yang mendalilkan, ia yang harus membuktikan. Faktanya, ia tidak pernah sekalipun diberi sanksi apalagi teguran. Lantas tetiba pangkatnya ditahan. Ia menembus Ombudsman, dan KASN. Tak gentar berseberangan dengan penguasa. MTG bilang, agar jadi conto